Sebenarnya, dalam kenyataan, kita itu lebih banyak menghargai orang lain lho! Misalnya, melihat orang lain lebih kaya, lebih sukses, dan lebih punya istri. Eh, maksudnya lebih berbahagia dengan rumah tangganya.
Saya ambil contoh. Dari cukup banyak video yang menceritakan kesuksesan orang lain, contohnya memamerkan rumah dan mobil mewah, yang berkomentar pun kira-kira seperti ini:
“Disholawati dulu deh..”
“Tahun depan semoga bisa dapat!”
“Bang, minta uang sejutanya aja dong!”
Standar kesuksesan dan kekayaan itu pada harta. Jadi, kalau ada yang berharta banyak dan sukses, maka dianggap dia sudah menjadi orang luar biasa.
Lihat orang punya Ferrari, ikut ngiler. Padahal kalau mau punya Ferrari juga, gampang kok! Tinggal beli miniaturnya. Mirip juga lho!
Atau yang pamer Lamborgini, dia juga iri. Lho, kalau orang kaya bisa beli Lamborgini, kita juga harus beli Lamborgitu. Begini dan begitu. Ya ‘kan?
Atau yang rumahnya mewah. Di sini mewah bukan berarti mepet sawah lho! Tapi betul-betul mewah. Apakah itu standar kebahagiaan yang sejati? Ya, belum tentu juga. Siapa tahu di balik rumah mewah itu, tersimpan kesedihan yang luar biasa.
Mungkin saja yang punya terjerat utang sekian milyar rupiah, anaknya kena narkoba, atau masalah-masalah yang lain dan itu tidak terungkap. Kita melihatnya senang-senang saja.
Ada Satu, Hilang Satu
Saya teringat sebuah video ceramah yang dibawakan oleh Ustadz Rifky. Beliau ini kalau tidak salah tinggal di Makassar. Ya, meskipun mungkin tidak di Makassar persis, tetapi tetap tinggal di bumi Indonesia.
Kata beliau, dunia ini sebenarnya kejam lho buat orang beriman. Dunia ini adalah tempat cobaan dari Allah.
Kalau Allah memberikan suatu kenikmatan kepada seorang hamba, maka pasti ada yang dicabutnya. Contoh itu tadi. Rumah mewah, tetapi dikejar-kejar oleh KPK. Mobil mewah, tetapi itu justru yang merenggut nyawanya. Bisa jadi bukan? Bukankah bisa jadi? Jadi bisa bukan? Lah, dibolak-balik.
Makanya, kenikmatan di dunia ini sangatlah tidak sempurna. Tidak bisa dikira bahwa yang hartanya banyak itu pasti berbahaya, eh, berbahagia.
Memang sih, mencari harta itu penting. Mendapatkan uang itu juga penting. Namun, jika terlalu terforsir untuk hal itu, maka hidupnya akan sia-sia.
Masih banyak kok yang lebih bagus daripada mencari uang. Bermain dengan anak dan istri itu juga menyenangkan. Asal anak dan istri sendiri lho ya!
Penghargaan Terhadap Diri Sendiri
Nah, ternyata ada yang lebih penting daripada melihat kesuksesan dan hal-hal yang sudah diraih oleh orang lain, yaitu: apakah kita tidak pernah merasa sama sekali hal yang sama? Mungkin kita tidak sampai mendapatkan mobil atau rumah mewah itu. Namun, prestasi-prestasi kecil yang kita dapatkan itu juga bagian dari kesuksesan lho!
Perlu diketahui pula bahwa kesuksesan besar itu dimulai dari kesuksesan kecil. Langkah seribu dimulai dari uang seribu rupiah. Eh, maksudnya langkah seribu dimulai dari langkah pertama. Kapan mau mendapatkan langkah seribu jika tidak mau melangkah untuk pertama kalinya? Ya ‘kan?
Seperti kata pepatah: banyak jalan menuju Roma. Itu ‘kan artinya pegal. Masa dari sini mau ke Roma sana pakai jalan kaki? Kecuali kalau membeli biskuit Roma, cukup di warung tetangga, jalan kaki, itu sudah cukup. Namun, kalau benar-benar ke kota Roma, harus naik pesawat terbang. Bukankah begitu Roma? Lho, ini malah bahas Roma Irama dan Ani!
Hadiah Tidak Harus Besar
Seperti tulisan yang ada di blog Pipit Fiharsi, saya memang setuju. Bahwa memberikan self reward sebagai tanda bukti mencintai untuk diri sendiri. Kita merasa puas atas kerja kita sebelumnya. Meskipun mungkin masih banyak rebahannya, tetapi akhirnya berhasil ‘kan? Sukses ‘kan? Ya, apalagi kalau sukses ngorok?
Dalam blog tersebut disebutkan memberikan self reward itu tidak perlu sampai foya-foya kalau rekening masih di bawah lima ratus juta. Pertanyaannya sekarang, itu rekening apa Bu? Rekening listrik atau PDAM? Masa sampai lima ratus juta?
Self reward sebelumnya dari penulis untuk staycation diubah menjadi sepeda. Ya, kita tahu lah yauw bahwa kondisi pandemi begini, jalan-jalan masih belum bebas. Masih banyak dibatasi, baik itu dibatasi karena pemeriksaan di sana-sini, juga yang utama karena uangnya memang terbatas.
Nah, diubah menjadi sepeda juga bagus. Sehat dan bisa dipakai lebih awet. Jika liburan ke luar kota mungkin yang tersisa hanya foto atau video-video kenangan. Namun, jika sepeda dapat dipakai bertahun-tahun kemudian.
Harus Dibalik
Self reward menjadi bukti bahwa kita mencintai diri kita. Selain itu, menghindarkan dari mencela diri sendiri.
Ketika kita gagal, maka kita akan cenderung menyalahkan atau menghina diri sendiri. Memang sih ada kesalahan kita di situ, tetapi kita harus tetap bangkit dan optimis bahwa segalanya akan berubah menjadi baik-baik saja, Insya Allah.
Dan, perlu diingat, janganlah kita sering mencela, membully, atau menghina diri sendiri. Karena kenapa? Sebab, itu adalah tugas dari orang lain, bukan tugas kita. Hohoho…
Wkakakaka, benar banget. Jangan mencela diri sendiri. Itu tugas orang lain!
Yap, begitulah Pak D, haha…
Hahaha…
Ya ampuuun, paling bisa emang penulis mojok mah 😄
Matur suwun lho Pak Rizky
Yang penting ada self rewardnya.
Setuju Pak Rizky… Self reward itu perlu.. dan mencela itu tugas orla… Hihi
Jangan ambil tugas orang lain! 😃
Pesan satu Pak Rizky, Lamborgitu-nya he he.
Siap dikirim! 🤣
Menghibur banget tulisan ini. Serius tp kocak, kicak tp serius menyampaikan pesan.
Biar pesannya sampai, maka sengaja dibuat tidak terlalu serius, hehe..