Beredar foto yang viral di media sosial tentang santri yang menutup telinga saat ada musik diputar. Dalam foto itu, katanya sih para santri sedang menunggu untuk divaksin. Eh, tapi kok ada yang putar musik!
Bagi orang-orang yang nyinyir, maka mereka akan berpendapat, “Ajaran apalagi ini?”
Mereka juga bisa berkomentar macam begini, “Wah, ini Islam radikal! Tidak boleh sama sekali mendengarkan musik!”
Bisa saja mereka mengungkapkan seperti ini, “Masih kecil saja sudah nggak doyan musik. Nanti kalau ke masyarakat gimana tuh?”
Komentar-komentar tersebut bisa saja muncul karena tidak suka melihat para santri yang menutup telinga pas ada musik. Maunya para komentator itu, kalau ada musik ya dengar saja. Nikmati saja. Toh, musik itu juga bagus. Bisa bikin senang hati, tambah semangat, nyaman di pikiran, dan lain sebagainya.
Bagaimana membantahnya?
Logika Penyakit
Kita pakai logika saja. Misalnya, kita sebagai tuan rumah kedatangan seorang tamu. Namanya tamu, jelas dong harus dijamu. Tapi, jangan langsung kasih jamu kunyit asam ya! Maksudnya di situ adalah menghormati tamu, biasanya dengan menyuguhkan makan dan minum ala kadarnya.
Apa yang biasa kita suguhkan? Biasanya sih secangkir teh manis dan beberapa kue atau roti. Cangkirnya itu lebar di atas, tetapi menyempit di bawah. Isinya sangatlah sedikit. Jadi, maunya satu galon teh manis begitu? Haha..
Ketika tamu tersebut disodorkan teh manis dan kue-kue, ternyata dia tidak mau makan, dan tidak mau minum. Maunya diambilkan air putih saja. Kita jadi keran, eh, maksudnya heran, lho kok tamu ini tidak mau makan teh manis dan minum kue. Nah, terbalik ‘kan? Makan kue dan minum teh manis? Ada apakah gorengan? Lah, malah sebutkan gorengan!
Rupanya, ketika kita tanya, dia menjawab dengan senyum dan malu-malu sedikit, “Ada pantangan saya, Pak. Saya tidak boleh sama dokter makan dan minum yang manis-manis. Saya kena diabetes.”
“Ohh, begitu ya, Pak,” kata kita sebagai tuan rumah. Akhirnya kita jadi mengerti bahwa tamu kita seorang penderita diabetes. Dia yang betes, bukan kamu, apalagi saya.
Dari situ, kita jadi maklum, bahwa mau dipaksa seperti apapun, toh tamu kita tidak mau mengonsumsinya. Dia merasa nyaman dengan minum air putih yang tidak ada kalorinya, gulanya, apalagi garamnya. Cukup itu saja. Jika mau makan, mungkin dia akan minta buah-buahan saja kalau ada. Buah jeruk juga manis, semangka manis, pepaya manis. Tidak harus gula pasir ‘kan?
Oke, kita lanjut ke logika yang kedua.
Baliho di Pinggir Jalan
Nah, ini belum 2024, tetapi sudah ada baliho-baliho yang super besar di pinggir jalan. Kamu sendiri tahu ‘kan siapa orangnya?
Apa yang tertulis di situ? Yap, sepertinya daya ingatanmu masih sangat tajam. Di sana tertulis: Kepak Sayap Kebhinnekaan. Apa yang bisa diambil maknanya dari baliho tersebut?
Si baliho sejatinya ingin mengajarkan kepada para pembacanya untuk terus menjaga kebhinnekaan. Dari kata Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-berbeda tetap satu juga. Mau suku yang berbeda, bahasa yang berbeda, latar belakang yang berbeda, bahkan isi dompet yang berbeda, tetaplah satu menjadi bangsa dan rakyat Indonesia. Kita dipersatukan dalam negara ini. Sementara mungkin di antara kita tidak dipersatukan dalam satu bingkai pernikahan. Halah..
Penggabungan
Baiklah, kita gabungkan di sini kaitannya dengan santri yang menutup telinga saat ada musik. Yang pertama tadi tentang tamu yang menolak teh manis dan kue. Nyatanya, memang benar, kedua hal itu meskipun sering kita nikmati, tetapi tidak untuk penderita diabetes. Dia akan menjauhinya agar penyakitnya tidak semakin parah. Namanya saja penyakit gula, otomatis akan menghindari gula.
Sama dengan santri yang menutup telinga tersebut. Musik dianggapnya sebagai penyakit bagi mereka. Dalam keyakinan mereka, musik itu dapat merusak hafalan yang susah payah mereka susun.
Sebagian besar ulama juga menyatakan bahwa musik itu haram. Antara musik dengan Al-Qur’an tidak akan pernah bisa bersatu sampai kapanpun. Pernah dengar ada musisi yang juga penghafal Al-Qur’an? Tidak ada bukan? Kecuali musisi itu sudah pensiun, maka dia akan lebih mudah menghafal kitab Allah.
Santri dikondisikan dalam pesantren untuk menjauhi musik. Mereka tidak boleh pegang HP, tidak boleh ke luar sembarangan, tidak boleh bergaul bebas selama menempuh pendidikan di dalam pesantren, tujuannya buat apa sih? Yang utama adalah memelihara hafalan mereka. Memurnikan Al-Qur’an dalam dada mereka. Kalau sudah hafal satu juz, dua juz, hingga lima juz, bisa saja akan rusak seketika tatkala mendengarkan musik.
Oleh karena itu, kenapa harus nyinyir dengan santri yang menutup telinga waktu ada musik? Mereka ke luar seperti keterangan untuk divaksin, itu terpaksa dilakukan. Divaksin tidak dilakukan di dalam pesantren mereka, tetapi di tempat lain yang notabene tempat umum. Mungkin untuk mengusir kejenuhan atau menghibur pengantre vaksin, diputarkanlah musik. Siapa tahu juga itu untuk mengusir virus corona dalam tubuh orang yang ada di situ. Walah.
Tidak perlulah dinyinyir, atau bahkan dibully ketika santri menutup telinga. Musik dianggap penyakit, makanya mereka jauhi. Berada di pesantren adalah juga amanah dari orang tua. Mungkin orang tua sudah penuh perjuangan untuk membiayai para santri itu. Makanya para santri tersebut ingin menjadi anak yang berbakti. Caranya, ya, dengan menjadi santri yang baik, bahkan terbaik. Hafalan harus dijaga, dan berusaha untuk terus ditambah.
Bayangkan jika tamu yang menolak teh manis dan roti, lalu kita bully, “Wah, dasar kamu diabetes! Gini aja kamu tidak mau!”
Kira-kira apa yang terjadi? Mungkin saja tamu itu akan pergi. Kalau tamunya nekat, kita yang akan ditonjok! Nah lo!
Jika yang nyinyir berpandangan, lho santri yang menutup telinga saat ada musik itu, bagaimana nanti ketika di masyarakat? Bukankah di masyarakat nanti ada juga yang sering putar musik?
Jawabannya begini, itu nanti dulu lah, Bro! Para santri itu belum saatnya terjun langsung ke masyarakat. Mereka masih dalam fase pembentukan karakter di dalam pesantren. Para ustadznya berusaha untuk memberikan ilmu Al-Qur’an dan agama Islam. Mereka dengan sabar mengajari para santri untuk menjadi muslim yang mulia. Insya Allah itu menjadi amal jariyah bagi para ustadz tersebut.
Karakter muslim yang baik dibentuk di dalam pesantren. Jika nantinya punya karakter muslim, atau bahkan mukmin yang kuat, maka dia akan bisa bertahan di masyarakat. Semangat berdakwahnya akan tinggi. Akhlaknya mulia. Bersabar dengan gangguan di masyarakat. Jadilah mereka panutan di dalam masyarakat.
Lalu, apa hubungannya dengan baliho? Itu ada kata “kebhinnekaan”. Artinya apa? Pesannya jelas untuk menjaga kebhinnekaan. Semestinya yang nyinyir tahu bahwa masing-masing punya sifat, karakter, pembawaan, sikap hidup, dan cara pandang yang berbeda. Biarlah para santri itu menjauhi musik sebisa mungkin dengan cara menutup telinga mereka. Tidak boleh dinyinyir. Masa mau disamakan semua?
Sampai di sini, yang nyinyir itu sebenarnya tidak cuma mengkritik santri yang menutup telinga waktu ada musik. Akan tetapi, mereka sudah jelas membenci ajaran Islam. Mereka menolak Al-Qur’an dan lebih mencintai musik. Batin mereka sudah rusak, pikiran mereka sudah buntu, makanya mereka terus menyerang Islam. Padahal yang mereka hadapi bukan para santri itu, melainkan Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Tidak ada sejarahnya ada manusia yang bisa menang melawan Allah.