Antara Teman Menangis dan Menangisi Teman

Antara Teman Menangis dan Menangisi Teman

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Pagi ini, jam 06.07 WITA, saya tidak tahu di Somalia jam berapa, saya memutuskan untuk ikut Pantun Bale. Mengomentari tulisan guru blogger lain. Tibalah pilihan saya pada sebuah tulisan.

Link blognya adalah ini: https://81-atik.blogspot.com/2022/03/bentuk-kasih-sayang-bu-guru.html

Mengambil judul “Jangan Buat Teman Menangis”. Ini menarik bagi saya, soalnya perkara menangis dan tidak menangis ini bisa ditemui dalam kehidupan sekolah kita.

Pada blog tersebut, diceritakan sesosok guru bernama Bu Rima. Tentunya, nama itu bukanlah penyanyi dangdut, karena kalau itu namanya Rhoma Irama. Jauh banget ya?

Bu Rima memberikan tugas kepada para siswanya. Ah, kalau menulis “siswa”, saya lebih suka menggantinya dengan “murid”. Penyebabnya murid itu bermakna lebih spiritual dan lebih mendekatkan pada persepsi bahwa belajar itu tidak cuma fisik, tetapi juga mental dan urusan hati.

Mungkin banyak anak yang hadir di sekolah, mendengarkan guru sedang mengajar. Namun, kalau hati dan jiwanya tidak hadir, maka pendidikan tidak berjalan maksimal. Begitu juga pengajaran tidak berlangsung dengan baik.

Dalam tulisan tersebut, ada seorang murid bernama Ahul. Dia menangis karena diledek oleh Roni. Woo, dasar Roni! Ahul baru saja kehilangan ayahnya karena kecelakaan. Ini memang berat bagi seorang anak. Sosok yang menjadi pelindung, pengayom, dan tempat bermanja sudah tidak ada di dunia.

Sementara Roni adalah anak yang usil. Dia belum selesai mengerjakan tugas. Rupanya bagaimana mau selesai? Dia malah sibuk menggambar motor. Ternyata, dia punya cita-cita menjadi seorang pembalap. Hem, pembalap apa nih? Apakah Moto GP? Bolah-boleh saja, asal cita-citanya jangan menjadi pawang hujan ya? Masa hujan turun mau distop layaknya balapan Moto GP? Ahai!

Salahkah Menangis?

Bagi anak kecil yang menjadi murid, sangat wajar jika dia masih sering menangis. Bisa jadi, penyebabnya karena sekolah pertama kali atau baru masuk sekolah. Menghadapi teman-teman baru belum tentu mudah bagi anak tersebut. Terlebih, jika ada sikap atau perbuatan temannya yang memang tidak menyenangkan.

Biasanya, jika anak laki-laki yang menangis, langsung disuruh berhenti. “Huss, diam! Kamu ‘kan anak laki-laki. Tidak boleh menangis kayak anak perempuan!”

Kalimat seperti itu sering diucapkan oleh orang tua. Menganggap bahwa anak laki-laki itu harus kuat dan sekuat macan. Wah, iklan Biskuat!

Laki-laki jika menangis identik dengan perempuan. Sifat cengeng. Sifat cemen. Sifat lemah. Begitulah cap-cap yang nemplok di diri anak laki-laki.

Padahal, bila anak laki-laki tidak boleh menangis, untuk apa Allah menciptakan kelenjar air mata juga ke anak laki-laki? Buat apa coba? Kan namanya kelenjar air mata, ya, dipakai untuk mengeluarkan air mata. Ya ‘kan?

Kalau anak laki-laki tidak boleh menangis dan ditekankan bahwa menangis itu cuma untuk anak perempuan, pada akhirnya anak tersebut tidak akan bisa mengungkapkan perasaannya. Bayangkan ada beban di dadanya yang mungkin keras seperti batu, tidak bisa dikeluarkan. Dipendam terus. Ditimbun terus. Sumpek. Akan jadi penyakit nantinya.

Menangis itu wajar. Menangis itu manusiawi. Pada dasarnya manusia itu memang lemah. Menangis adalah bukti bahwa dia itu butuh dukungan, butuh pendorong semangat, dan butuh ditemani. Seperti itulah.

Jika anak laki-laki tidak boleh menangis, sampai dewasa dia akan memendam perasaan negatifnya. Efeknya yang bisa berbahaya. Dia akan menyalurkannya secara negatif. Mungkin dengan KDRT dengan menyasar anak dan istrinya. Mungkin temannya atau siapapun yang mampu diraihnya. Mengerikan bukan? Hah, bukan?

Biarkan saja anak laki-laki menangis. Dan, karakter laki-laki itu memang berusaha untuk menyelesaikan masalahnya sendiri. Sosok laki-laki itu sebenarnya tidak butuh banyak curhat seperti perempuan.

Kita bisa melihat contoh sejarah. Waktu Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam pulang dari Gua Hira. Beliau menerima wahyu pertama kali. Melihat malaikat Jibril alaihissalam dalam wujud yang sebenarnya.

Ada rasa ketakutan, panik, galau, pokoknya campur aduk jadi satu, lah. Saat pulang, beliau minta diselimuti. Istrinya, Khadijah radhiyallahu anha membiarkan saja suaminya. Dalam arti tidak bertanya, “Kenapa sayang? Ada apa?” Kalau seperti itu, pasti buku Sirah Nabawi akan berkata lain.

Begitu juga, seperti yang saya baca dalam salah satu buku Ustadz Salim A. Fillah. Ketika ada suami pulang dari kantor dengan wajah yang tampak suntuk, istri tidak harus dan tidak perlu terlalu banyak bertanya, “Kenapa Mas? Ada masalah apa? Ada masalah di kantor ya? Ada sekretaris baru ya? Lebih cantik daripada aku ya? Lebih seksi mana sama aku? Ayo, jawab, Mas, kenapa diam saja? Mau main rahasia sama aku? Oke, kalau memang maunya begitu! Mulai sekarang kamu tidur di luar!”

Waduh, kasihan suaminya langsung diberondong seperti itu layaknya senapan mesin! Hahaha…

Semestinya, mengetahui suami tampak bukan dalam kondisi yang baik-baik saja, istri yang baik tinggal menyiapkan saja kesukaan suami. Misalnya: dibikinkan kopi. Nah, pas kopi itu diminum oleh suami, kok rasanya pahit? Suami langsung memuntahkan ke lantai. Suami itu bertanya, “Ma, kok kopinya pahit banget?”

Istrinya pun menjawab, “Mahal minyak goreng, Pah!”

Nah, apa hubungannya coba? Minyak goreng dengan kopi?

Dalam Kesunyian

Laki-laki yang menangis, bisa kok dalam kesepian dan kesendirian. Terlebih jika dia ingat dengan dosa-dosanya. Ini termasuk amalan yang sangat mulia. Bisa mendatangkan perlindungan di Padang Mahsyar nanti waktu dikumpulkan semua manusia untuk menunggu pengadilan dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Intinya, manusia, baik itu laki-laki maupun perempuan, tetap membutuhkan penyaluran emosi. Selain menangis, curhat, bisa juga lewat berdoa. Untuk yang satu ini, ada sebuah materi yang menarik. Tadi malam, saya menonton video dari Ustadz Rifky.

Beliau mengatakan kira-kira begini, “Kalau kita ada masalah, kita mau cerita ke orang lain tidak ada yang menanggapi, tidak ada yang membantu, tidak ada yang mau mendekat, bahwa langsung saja berdoa kepada Allah. Mungkin saja, Allah ingin langsung turun tangan menyelesaikan masalah kita tanpa melibatkan seorang pun.”

Itu ‘kan jelas luar biasa! Kita merasa sendirian di dunia ini, berharap kepada orang lain, eh, kok tidak bisa? Maka, di situlah Allah yang akan berperan secara langsung. Kalau masalah kita selesai karena pertolongan Allah, maka Allah menginginkan agar cinta kita hanya untuk Allah. Dia ingin menyempurnakan cinta kita kepada-Nya. Masya Allah.

Dua Sisi

Saya memiliki tiga anak, laki-laki semua. Yang bungsu baru dua bulan. Pernah saya menyesal waktu memarahi dan membentak anak saya yang sedang menangis. Saya menyuruhnya diam dan berhenti menangis.

Hal yang membuat saya menyesal adalah mengapa saya sampai melakukan itu ya? Seharusnya saya membiarkan saja anak saya itu menangis. Memuaskan perasaannya, meluapkan yang terpendam dalam jiwanya, sampai selesai, sampai puas. Setelah berhenti menangis, baru didekati, baru ditanya, itu pun harus dengan lembut. Janganlah membentak dengan lembut ya! Eh, ini bagaimana, membentak kok dengan lembut?

Guru yang bijak ditunjukkan contohnya melalui sosok Bu Rima dalam tulisan yang saya cuplik di atas itu. Sosok guru yang mengerti dengan sikap dan perilaku murid-muridnya.

Adapun tentang judul tulisan ini, yaitu: tentang menangisi teman, saya punya contoh nyatanya. Seorang teman sekelas, sebut saja namanya U. Dia punya teman akrab, perempuan, namanya T. Saking dekatnya mereka, tetapi bukan pacaran, saat mau lulus, si U ini menangis.

U mengalirkan air mata waktu mendengar lagu-lagu cinta dari Ari Lasso. Ternyata, penyanyi tersebut adalah idola T. Si T beberapa kali menyanyikan lagu Ari Lasso di dalam kelas. Nah, kalau ingat lagu itu, maka ingat T. Hem, melankolis juga ya?

Menangisi teman juga boleh saja, apalagi jika teman akrab alias sahabat begitu. Namun, untuk kasus teman saya itu, sepertinya terlalu berlebihan deh! Lebih cocoknya menangisi teman itu ketika teman kita terjerumus ke dalam kesalahan. Misalnya: sampai menyalahgunakan narkoba, sampai dipenjara, atau menjadi teroris, seperti begitu-begitulah. Itu perlu kita tangisi karena dulu pernah bersama dengan kita, setiap hari menerima pelajaran jadi guru, kok begitu keluar, malah jadi penjahat?

Kalau menangis karena sudah lulus, ya, karena memang lulus itu sudah tidak dihindari. Sudah tiga tahun bersama, di SMP maupun SMA, mau lulus, ya, lulus saja. Tidak perlu ditangisi. Toh, masih bisa ketemu lagi. Masih bisa komunikasi lagi. Sementara kalau ada teman kita masuk penjara, tidak akan gampang menghubunginya. Tidak akan mudah untuk berkomunikasi dengannya. Itu yang perlu kita tangisi.

Dan, sekarang, saya tidak perlu menangis juga karena lapar. Karena sarapan sudah tersedia. Alhamdulillah. Ayo, sarapan dulu bagi yang belum!

pantun-bale

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

5 Comments

  1. Terimakasih Pak Rizky… Tulisan saya sudah di Pantun Bale kan.. . Semoga saya lebih bisa menulis dengn baik. Hehe..

  2. Menangislah biar merasa lebih ringan karena beban yg kau pikul. Anak laki pun jngn dilarang menangis. Yg gak boleh bila sambil histeris segala dilempar segala ditendang, betul kan?

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.