Setelah cukup lama saya memiliki sandal yang bernama Big Boss, akhirnya dia pun raib dari tanganku, eh, kakiku. Tadi malam, dia pun pergi tanpa pamit.
Kejadiannya ketika saya ada kegiatan di masjid agak jauh sedikit dari rumah. Hujan tiba-tiba mengguyur dengan deras. Luar biasa deras, sampai seorang teman mengatakan masjid serasa mau roboh. Tentu, itu bukan roboh mainan anak-anak lho ya, beda kalau itu.
Angin cukup kencang menyapa. Walah, menyapa. Pokoknya, suara di dalam masjid jadi tidak terdengar dengan jelas. Apalagi kalau suaranya pelan, tambah tidak terdengar. Saya menunggu saja hujan reda. Sebab, kalau pulang ketika hujan masih mengguyur, maka akan tetap basah. Kecuali, hujan hadiah, maka itu membuat hati jadi sumringah.
Hanyut
Dari hasil hujan yang turun deras, seperti yang saya katakan di awal tulisan ini, sandal saya yang berwarna hitam hanyut. Sebenarnya lucu juga sih kok bisa begitu. Saya meletakkan sandal di depan teras masjid, pada undakan pertama. Nah, air mengguyur dari atas, mendorong sandal saya ke selokan kecil.
Selokan itu memang letaknya di depan teras masjid juga. Air yang kencang, langsung menghanyutkan sandal saya. Padahal dia juga tidak bisa berenang. Ujungnya, dia ikut arus. Hem, bukan arus pergaulan bebas sih. Masuk ke selokan besar di belakang masjid dan sampai sekarang dia tidak ditemukan. Ah, saya tidak perlu menghubungi tim SAR, lah.
Tidak hanya sandal saya yang hanyut, tetapi juga sebelah sandal teman saya. Sandal sebelah tidak mau saya pakai, saya pulang dengan nyeker saja. Ada larangan memakai sandal cuma sebelah. Seperti ini haditsnya:
Dari Abu Hurairah radhiyallahu, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda, “Janganlah kalian berjalan dengan satu sandal. Hendaknya kedua sandal tersebut dilepas ataukah dipakai keduanya.” (HR Bukhari dan Muslim). Sandal sebelah itu dipakai oleh teman saya untuk pulang ke kampungnya. Jadinya:
Pede juga ya teman saya pakai sandal seperti itu? Kalau saya sih malu. Jangan sampai ada orang yang menegur atau mengkritik yang pakai sandal itu, eh, malah dijawab sama sandal itu sendiri, “Iri Bilang Boss!”
Untuk mengobati rasa galau di hati karena hilang sandal sebelah, maka saya memilih untuk mengulas tulisan guru blogger lainnya. Lewat acara yang bernama Pantun Bale.
Bersyukur dengan Upacara
Saya mulai dengan tulisan yang tertuang di Kompasiana. Linknya sebagai berikut: https://www.kompasiana.com/susantogombong/62eff049a51c6f1874532822/bangsaku-merdeka-guruku-merdeka
Buatan tangan Pak D Susanto, bukan Susanti lho ya, kalau itu nama mantan pebulutangkis.
Pak D menyampaikan kondisi pandemi yang terjadi sejak dua tahun lalu. Pembelajaran tidak bisa dijalankan dengan maksimal. Hanya lewat internet alias daring, akhirnya belajar pun jadi garing.
Begitu pula dengan upacara bendera, tidak bisa dilaksanakan sebagaimana umumnya. Lagi dan lagi, lewat internet saja. Saya teringat dengan teman saya yang sampai harus menghormati laptop. Memang sih di tayangan laptopnya ada pengibaran bendera Merah Putih. Namun ‘kan, yang tampak di luar adalah dia menghormat kepada laptop.
Selain upacara yang sudah kembali seperti biasa, guru juga mesti memahami tentang Merdeka Belajar. Menggunakan alat-alat yang ada untuk membuat inovasi dalam pembelajaran. Akan tetapi, jangan selalu diartikan Merdeka Belajar ini adalah muridnya merdeka-merdeka saja. Mau belajar, terserah, tidak juga terserah. Merdeka, lah. Bukan seperti itu, melainkan pembelajaran yang lebih kreatif.
Tujuan belajar dengan lebih kreatif adalah agar belajar tidak jadi membosankan. Anak-anak menikmati belajar layaknya bermain. Buktinya, anak-anak lebih senang bermain daripada belajar bukan? Begitu pula orang tua, lebih senang bermain daripada belajar. Apalagi kalau permainannya memang khusus orang tua yang biasanya malam setelah anak-anak tidur. Ups, opo kuwi?
Memaknai Kemerdekaan Sesuai Hakikatnya
Tulisan kedua yang saya ulas punya link sebagai berikut: https://www.kompasiana.com/mawarsofia8785/62ede0f208a8b517f00facea/memaknai-hakikat-kemerdekaan
Tulisan tersebut dibuat oleh Ibu Ovi. Nah, sambil menulis ini, rupanya sinyal internet memang sedang lambat-lambatnya. Ini memang kondisi yang jamak dialami oleh masyarakat Indonesia. Kalau mau kencang, coba naik motor mengebut sambil buka internet. Kencang bukan? Maksudnya laju motornya, internetnya tetaplah lambat, hehe..
Bu Ovi memulai tulisannya dengan sebuah lagu dengan judul “Hari Merdeka” ciptaan H. Mutahar. Siapa yang kenal dengan penciptanya, hayo? Kalau kenal, kenalannya di mana? Hayo, bisa jawab nggak?
Dalam tulisan tentang memaknai kemerdekaan tersebut, memang ada rasa gembira, gegap gempita karena bangsa Indonesia sudah merdeka. Namun, pertanyaan selanjutnya, poinnya 100, setelah merdeka mau diisi dengan apa? Masa dengan leha-leha dan rebahan saja? Tentunya harus dengan yang lebih bermanfaat dan positif dong? Kalau bisa sih istri juga dibikin positif, agar suami makin ekspresif. Halah.
Hal yang saya tangkap dari tulisan tersebut adalah menghilangkan penjajahan dalam diri kita. Salah satunya dengan tidak menyakiti orang lain. Ini memang berat, apalagi di jaman now. Menyakiti bisa di mana saja, tidak terluput di dunia internet, terlebih lagi di media sosial.
Hanya karena komentar yang ngawur, itu sudah termasuk menyakiti. Apalagi, medsos itu gratis dipakai, internetnya yang bayar. Kita sudah bayar, ternyata tetap lambat saja sinyalnya. Akhirnya, kita sendiri yang disakiti oleh sinyal. Rupanya, sinyal pun masih menjajah kita. Kejam memang.
Rumah Dekat Atau Jauh?
Kali ini mengulas sebuah tulisan dari guru blogger kita, Om Jay. Kita tetap mesti memanggilnya dengan Om Jay, padahal kita bukanlah keponakannya. Ya ‘kan? Kalau kepo tanpa keponakan dengan tulisan Om Jay, maka itu lain juga.
Om Jay punya link tulisan dari Kompasiana seperti ini: https://www.kompasiana.com/wijayalabs/62f0481fa51c6f3d1d75e2f4/buat-apa-kita-berangkat-pagi
Berangkat pagi memang identik dengan berangkatnya para pekerja. Ada yang memang berangkat sebelum Subuh seperti yang pernah Om Jay alami. Begitu pula banyak pekerja lain. Salah satu contohnya adalah pilot Batik Air jurusan Jakarta – Kendari. Saya pernah naik pesawat itu dengan waktu terbang 03.10 WIB. Coba, bayangkan! Itu sebenarnya bukan berangkat pagi hari, melainkan sudah kerja di dini hari.
Saya pernah naik pesawat itu sebanyak tiga kali. Bahkan, pernah mengajak anak dan istri untuk ikut dari Jakarta. Selama semalam, saya tidak bisa tidur. Takut tertinggal pesawat. Nanti di pesawat saja baru bisa tidur.
Tentang jarak rumah, dari kantor bisa ditempuh dalam waktu kurang lima menit saja. Dekat memang, tinggal naik sepeda motor atau mobil dinas. Sementara kalau harus merangkak, tentunya akan terasa jauh.
Bagi saya, lebih senang jarak rumah dekat dengan kantor. Sebab, kalau ada apa-apa bisa cepat pulang ke rumah. Ada urusan di luar, juga gampang. Meskipun begitu, meskipun dekat, tetapi saya sering terlambat datang di kantor. Ini yang masih belum bisa saya perbaiki dengan maksimal. Mestinya memang jam masuk kerja itu pukul 10.00 WITA saja. Jadi, kalau saya datang jam 09.00, tidak terlambat. Demikian mimpi saya yang tentu saja sulit terwujud!
Memang Harus Bangga Menjadi Blogger
Tulisan dari guru blogger yang satu ini, Pak Supadilah, memang joss dari sananya. Linknya: https://www.supadilah.com/2022/08/menyebarkan-virus-menulis-bangga-jadi-blogger.html?m=1
Isi tulisannya mendatangkan motivasi yang luar biasa, melalui hasil-hasil tulisannya mendapatkan keberuntungan yang memang tidak terbayangkan sebelumnya, baru setelahnya. Menjadi penulis di koran atau media massa dan akhirnya mengompori orang lain untuk ikut menjadi penulis. Ini yang tidak gampang ditularkan. Virus positif menjadi penulis atau blogger tidak semua orang mampu. Bahkan seorang blogger pun belum tentu bisa.
Kendalanya memang di bidang menulis itu sendiri. Apalagi tulisan yang panjang, berbobot, dan punya makna yang jelas, itu lebih tidak mudah lagi. Kalau hanya menulis yang tidak jelas, galau, alay, arahnya lain, penulis maunya ke sana, tetapi pembaca ke sini, itu mudah. Buktinya, banyak kita saksikan status di media sosial yang seperti itu. Tanpa ada isi yang jelas dan tentu saja tidak mencerminkan literasi sama sekali. Tapi, kalau bau terasi mungkin lebih pas.
Intinya, memang harus fokus. Blogger ini kan bagian pembuat konten alias content creator juga. Blogger berfokus kepada tulisan, gambar, sampai video kecil-kecilan juga boleh, lah. Jika seseorang sudah meniatkan diri menjadi blogger, maka didalami saja. Toh, peluangnya banyak kok, seperti yang diungkapkan oleh Pak Supadilah. Intinya, mau apa tidak? Kalau mau, teruskan, kalau tidak, silakan lambaikan tangan ke kamera. Nanti kru kami yang akan menjemput. Eh, ini kok malah bahas Dunia Lain?
Lomba Kemerdekaan yang Mengasyikkan
Dalam urutan kelima dalam list Senin Blogwalking di grup Lagerunal, saya menemukan tulisan dengan link seperti ini: https://chitawijono78.blogspot.com/2022/08/healing-kemerdekaan.html
Membahas healing kemerdekaan. Healing ini adalah istilah yang sedang tren sekarang. Tentang penyembuhan jiwa, batin, maupun pikiran. Rupanya, healing itu bisa dilaksanakan dengan mengikuti lomba-lomba suasana peringatan kemerdekaan negara kita.
Ada tiga lomba yang ditampilkan di tulisan tersebut, yaitu: berjalan dengan tampah di kepala, kempit atau jepit balon di kaki, dan memukul air.
Sebenarnya, yang mengasyikkan dari lomba-lomba itu adalah bukan orientasi menangnya, melainkan ikut memeriahkannya. Mental seperti itu memang perlu ditanamkan, tidak hanya untuk lomba 17-an, tetapi juga lomba-lomba lain. Ketika kita ikut suatu lomba, selama sudah berusaha maksimal, menaati peraturan yang ada, maka selanjutnya tawakal saja. Menang, Alhamdulillah, kalah, Astaqfirullah.
Hadiah dari lomba-lomba memperingati kemerdekaan itupun biasanya tidak besar. Mungkin handuk, tanpa bak mandinya. Buku tulis bagi anak-anak yang ikut, tanpa menyertakan papan tulisnya. Baju-baju baru yang digantung di lomba panjat pinang. Makanya, yang ikut lomba panjat pinang tidak pakai baju, nanti pakai bajunya kalau sudah di atas.
Yang jelas, lomba-lomba seperti itu disesuaikan saja dengan kondisi masyarakat setempat. Apalagi ini momen setelah pandemi, tentunya lebih bebas dalam menggelar lomba. Namun, bisa kok dikaitkan dengan pandemi yang lalu. Misalnya, lomba berjalan dengan tampah, jepit balon di kaki, atau memukul air, tetapi mata peserta ditutup dengan masker. Sebab, masker itu selain dapat mencegah virus berbahaya yang masuk ke hidung dan mulut, juga mencegah masuk ke mata. Contohnya, ketika mengajak istri ke mall, maka matanya perlu ditutup dengan masker, agar tidak, begitulah.
Tentang Sedekah
Tulisan bagus dan sarat dengan hikmah ditulis oleh Bu Sumarjiyati, dengan link: https://81-atik.blogspot.com/2022/08/andai-aku-tahu-tentu-tidak-kulakukan.html
Membahas tentang orang saleh di zaman dulu yang ternyata menyesal dengan sedekahnya. Inginnya lebih banyak untuk sedekah makanan, dan lebih baru untuk pakaian. Satu lagi dalam urusan perjalanan ke masjid.
Dari tulisan tersebut, memang bisa membuat kita merenung dan berpikir, sudah sebesar apa sedekah kita? Apakah kita sudah merasa puas karena pernah bersedekah dalam jumlah yang besar? Itu yang namanya riya, berbangga dengan amalan kita. Kalau riya sampai menjangkiti hati kita, jangan sampai malah dosa yang kita dapatkan, bukan pahala sedekah sebagaimana yang kita harapkan. Sebesar-besarnya sedekah kita, masih ada yang lebih besar. Masih banyak orang yang lebih ikhlas dibandingkan kita.
Tentang sedekah ini, saya teringat ada seorang tokoh muslim yang getol mengajarkan sedekah, eh, ujungnya jamaahnya dipeloroti. Disuruh sedekah perhiasan, uang di dompet, sampai kendaraan juga. Pulang tinggal jalan kaki, karena semuanya sudah disedekahkan.
Padahal, esensi sedekah itu tidak boleh sampai menyengsarakan diri sendiri. Masa kita memberikan semua harta kita ke orang lain, lalu itu membuat kita jadi menderita dan meminta-minta? Sedekah lebih utama itu kepada keluarga, ya anak, ya istri. Apalagi sebagai seorang suami atau kepala keluarga. Sesekali, belikanlah istri mobil Alphard. Atau umroh sambil jalan-jalan ke negara-negara Arab.
Namun, tetap harus disesuaikan dengan kemampuan ya! Jika ada rezeki lebih, maka keluarga yang lebih berhak untuk ikut menikmatinya. Termasuk untuk perkara kecantikan istri. Sebab, ada yang mengatakan, “Di balik istri yang glowing, tersimpan suami yang gosong!”
Artinya apa? Artinya adalah silakan diartikan sendiri.
Kemeriahan Peringatan Kemerdekaan RI
Tentang peringatan kemerdekaan RI yang ke-77 juga diungkapkan oleh Bu Suyati melalui link: https://suyatibinyo.blogspot.com/2022/08/kemeriahan-perayaan-hut-ke-77-republik.html
Berlokasi di Desa Selaganggeng, berbagai lomba diadakan. Uniknya lomba-lomba tersebut ditujukan untuk ibu-ibu. Ini juga menarik, karena biasanya yang ikut lomba itu kaum pria. Dan, lomba ibu-ibu tidak harus lomba memasak. Apalagi lomba memasak, siapa yang paling gosong? Masih banyak lomba yang bagus untuk mereka.
Adanya bermacam lomba tersebut tidak perlu sampai harus orientasi harus menang, menang, dan menang. Cukup dengan ikut, mau hasilnya menang atau kalah, sudah ikut memeriahkan. Kalau orientasinya selalu menang, jangan sampai nanti malah mendatangi dukun. Tidak lucu bukan kalau dukun yang didatangi tersebut dibongkar oleh Pesulap Merah? Malah jadi viral lagi nanti, repot!
Puisi Khas Ambu Tini
Karya berupa puisi memang selalu membuat saya salut kalau ditulis oleh Ambu Tini. Puisi akrostik dengan link berikut: https://ambuguru.blogspot.com/2022/08/akrostik-tujuh-tujuh.html
Tidak mudah lho membuat puisi semacam itu, sangat tidak mudah. Menggunakan judul Tujuh tujuh yang merupakan usia kemerdekaan negara RI.
Dari dua kata itu, diturunkan perhuruf hingga menjadi baris-baris puisi. Tidak hanya itu, akhiran kalimat pun punya rima yang cantik, tidak seperti Rima teman SMA saya dulu yang terkesan judes.
Pada bait pertama, semuanya berakhiran huruf “r”, sedangkan untuk bait kedua berakhiran “ma”. Saya belum pernah membuat puisi semacam itu. Sedangkan kalau tujuh-tujuh, saya pernah memakannya. Itu adalah merek Es Teler 77 yang sering ada di mall-mall. Namun, saya lebih bangga karena lebih tinggi angkanya daripada 77, yaitu: 88. Terlebih jika muncul lagi kutu air di kaki saya, maka angka 88 itu sangatlah membantu.
Gerakan Literasi dari PT. KAI
Sebuah wawasan baru datang lewat tulisan Pak Sim Chung Wei. Beliau ini pendatang baru di grup Lagerunal ya? Link tulisannya adalah: https://www.kompasiana.com/simchungwei4359/62f0d14508a8b5555022a613/commuter-reading-spot-menumbhkan-monat-baca-di-kereta-api
Setelah saya membaca, memang ada rasa kagum dengan PT. KAI yang membuat reading spot. Sudut atau pojok baca yang disediakan oleh PT. KAI. Meskipun belum semua stasiun terjangkau, tetapi itu sudah menjadi suatu kemajuan, apalagi bagi para penggiat literasi yang selalu membutuhkan bacaan di mana dan kapan saja.
Lemari baca tersebut tanpa ada penjaganya. Jadi, penumpang atau pengunjung boleh membaca dan mengembalikan lagi buku tersebut ke tempatnya semula. Tidak hanya itu, pengunjung juga boleh menyumbangkan bukunya di situ. Wuih, ini bisa menjadi kesempatan yang bagus untuk beramal jariyah! Bersedekah dengan buku agama Islam atau buku motivasi kehidupan yang positif, itu bisa mengubah orang atau pembaca menjadi lebih baik.
Adanya pojok literasi semacam itu memang sangat perlu. Sebab, masyarakat kita sudah sangat tergantung dengan HP. Buku sudah mulai dilupakan, kecuali buku nikah dan buku tabungan!
Padahal, membaca itu adalah jendela dunia. Orang yang cerdas dan pintar, pasti banyak membaca. Celakanya, jika kurang membaca, tetapi banyak berpendapat, itu yang sangat berbahaya. Terlebih, dalam dunia media sosial. Kesempatan sangatlah terbuka untuk berkomentar apapun dan menunjukkan kualitas diri masing-masing. Kalau orang cerdas, maka dia akan berkomentar yang baik. Atau malah tidak ada komentar sama sekali kalau memang tidak penting.
Sedangkan orang bodoh akan banyak berkomentar yang justru makin menunjukkan kebodohannya. Oleh karena itu, membaca buku itu memang sangat perlu. Jika tidak bisa membeli buku dalam satu bulan, maka bisa mendatangi perpustakaan terdekat. Jika tidak bisa datang ke perpustakaan, bisa lewat aplikasi seperti iPusnas yang mudah diunduh dari Playstore. Jika tidak bisa unduh juga, maka ibaratnya membuat buku sendiri, seperti buku Yasiin dengan foto orang tersebut. Maknanya, hatinya mati, pikirannya mati, meskipun terlihat masih hidup fisiknya.
Agar Tidak Hanyut
Saya masih teringat sandal saya yang hanyut tadi malam. Kami menjalani kenangan indah bersama-sama. Sampai ke Jakarta, sampai ke Makassar, sampai ke Kendari. Untuk perjalanan ke Jakarta dan Makassar, saya memang lebih suka pakai sandal daripada sepatu. Sebab, menurut saya, lebih ribet pakai sepatu. Sandal lebih enak dan nyaman.
Namun, saya jadi hanyut juga dengan tulisan para guru blogger di atas. Paling tidak mendapatkan pandangan baru atau wawasan baru. Bukankah dengan membaca tulisan orang itu akan memperkaya cakrawala kita? Memperkaya di sini tidak hanya tentang harta benda, tetapi juga harta pengetahuan. Manusia dibekali akal pikiran, masa tidak diisi dengan pengetahuan? Kalau bukan pengetahuan apa dong namanya? Pengetempean?
Saya suka banget baca tulisan Mas Rizky yg miliki ciri khas, kocak, jadinya suka senyum2 sendiri sambil membacanya. Sepanjang apa pun tulisannya tidak membuat bosan.
Alhamdulillah, terima kasih banyak, Ambu.
Mantap bisa pantun bale semuanya. Saya masih keteteran Pak.
Dicoba terus saja, Bu, hehe…
Enak banget baca tulisan pak Rizky
Alhamdulillah, terima kasih Bu Yusni.
Asyiiik, Pak Rizky yg jalan-jalan ngebale tulisan blog sobat lage, saya ikutan asyik jalan-jalan di pantun bale Pak Rizky. Asyik banget baca tulisan khas Pak Rizky, lebih asyik karena jalannya saya tak perlu mikir pakai sandal, cukup jalan-jalan di blog sambil rebahan. He..he…..
Ya, Bu, memang dibuat sederhana, jadi pembaca tidak perlu banyak berpikir. Cukuplah saya yang berpikir, haha…
Pak Rizky menang sll kereen… Tukisan yang renyah. mantab pantun balenya mnyeluruh ke semua blog Senin BW.
Sipp, Bu, ditunggu komentarnya besok-besok ya.. 😁