Sebuah Kisah Agak Fiktif: Satu Permintaannya Untukku: Hapus!

Sebuah Kisah Agak Fiktif: Satu Permintaannya Untukku: Hapus!

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Perlu kamu tahu, bahwa aku ini masih muda banget. Masih ABG. Sekolahku saja kelas 2 SMA. Aku tidak sekolah di SMA, tapi di Madrasah Aliyah. Tempatnya di sebuah pulau yang ramai.

Aku dulu pernah sekolah di sebuah pesantren terkenal di daerah ini. Namun, pada akhirnya aku harus dikeluarkan dari sekolah Islam tersebut. Yah, karena suatu hal yang tidak bisa kuceritakan di sini. Pokoknya ada, lah.

Tampil Eksis

Aku merasa diriku ini memang cantik sekali. Wajar karena aku seorang gadis. Meskipun aku berjilbab besar seperti dua kakakku yang bercadar, tetapi pada dasarnya aku ini suka tampil cantik. Dan, kamu pasti tahu, maksudnya tampil cantik itu bagaimana? Ya, apalagi kalau bukan eksis di media sosial? Menampakkan wajahku lewat media itu dan dilihat oleh teman-temanku, bahkan laki-laki.

Terus terang, aku merasa puas seperti itu. Memang aku cantik kok, tidak perlu ditutup-tutupi. Peduli amat sama omongan yang mengatakan kecantikan wanita itu harus dijaga. Dua kakakku yang telah menjadi akhwat dan cukup banyak hafalan Al-Qur’annya, tidak pernah menampakkan wajahnya di medsos. Sementara aku sudah banyak sekali pajang foto. Di Facebook ada, di Instagram ada, bahkan di TikTok juga ada. Pokoknya, suka-suka aku, lah.

Lebih Lagi

Tidak cuma foto lho, aku juga suka tampil live di IG. Ketika di sekolah, aku cukup sering live. Gabut begitu, aku live saja. Sambil menunggu guru atau pas jam kosong. Lebih baik aku live ‘kan daripada bingung mau ngapain?

Ketika aku live, cukup banyak yang menonton. Mereka memberikan komentar yang masih bagus menurutku. Aku senyum-senyum di depan kamera, lebih tepatnya ya di depan mereka. Ada satu yang bergabung, sudah dewasa, lalu aku menyapanya dengan melambaikan tangan. Tentunya, lewat fitur Instagram yang ada.

Laki-laki itu cukup sering memantauku. Aku tahu nomor WA-nya, begitu juga dia tahu nomor WA-ku. Kami pernah berkomunikasi di Facebook, IG, dan WA. Percakapan dengannya sangatlah menyenangkan. Meskipun kadang ya, aku tidak meneruskan obrolan itu karena cukup banyak yang aku chat.

“Karierku” sebagai seleb Instagram kecil-kecilan mulai menemukan titik cerah. Setidaknya, aku menemukan teman-teman baru di situ. Mereka DM aku, lalu minta dipromosikan akunnya. Bolehlah, membantu teman apa sih salahnya, ya ‘kan?

Bapak dan ibuku yang merupakan seorang ustadz dan ustadzah sama sekali tidak tahu dengan aktivitasku ini. Bahkan, kakak-kakakku perempuan juga tidak pada awalnya. Yang tahu malah sepupu laki-lakiku. Dia sih juga pernah menjadi santri, tetapi cuek saja. Membiarkan saja aku begini. Lagian juga ngapain dia urus-urus aku ‘kan?

Laki-laki yang sudah dewasa itu meskipun mungkin dia suka dengan wajahku, pernah juga menasihatiku,

“Dik, hati-hati pasang foto di medsos. Jangan sampai disalahgunakan orang!”

“Ah, tidak kok!” Aku membantahnya. Dan, aku tahunya begitu.

Dia pernah mencoba memancingku. Pas aku taruh foto di story WA, dia komen. Katanya bagus fotoku.

“Bisa ini disimpan?”

Aku bilang saja, “Simpan saja kalau mau!” Ditambah dengan emoticon tertawa.

Entah apakah dia menyimpan atau tidak? Yang jelas, aku tetap senang komunikasi dengannya, meskipun dia jauh lebih dewasa dan jauh jarak usianya denganku.

Pagi Itu

Kaget betul waktu itu. Aku betul-betul terkejut. Aku dipanggil oleh bapak dan ibuku di ruang tengah. Di sana sudah ada dua kakak perempuanku.

Bapakku sebut namaku dulu, lalu mulai meledak, “Kamu tahu ‘kan hukumnya pasang foto sembarangan di medsos? Tahu nggak kamu?!”

Aku langsung terdiam. Mengangguk begitu saja.

“Kamu ini sudah Bapak belikan HP baru, ternyata dipakainya buat maksiat! Kamu sudah menyimpan dosa besar, Nak. Betapa banyak laki-laki yang terfitnah karena wajahmu yang dipajang di sana-sini!”

Aku tetap terdiam. Dua kakak perempuanku mulai sesenggukan. Menangis. Begitu juga dengan ibuku.

“Bapak ini sudah sekolahkan kamu di tempat yang bagus. Bapak dulu juga sudah sekolahkan kamu di pesantren, meskipun kamu ke luar. Sekarang kamu malah jadi begini. Apa sih maumu, Nak? Jawab!”

Kucoba jawab, tapi aku tidak bisa. Aku terus menunduk. Menatap mata bapak, aku tidak sanggup. Apalagi melihat dua kakakku menangis. Mereka pasti sedih sekali.

“Kamu itu hanya jadi santapan laki-laki, Nak. Wajahmu dinikmati oleh banyak orang. Mungkin mereka jadi puas atau gimana, ah, entahlah! Kamu tidak tahu apa yang dilakukan laki-laki, Nak!”

Memang aku tidak tahu. Bagiku, kenikmatan memang bisa posting dan eksis kayak artis-artis itu.

“Kamu sama siapa sering chat?”

Kusebutkan beberapa nama. Tidak terluput sebuah nama. Laki-laki dewasa itu. Mereka mengenalnya. Laki-laki itu dikenal keluargaku mempunyai akhlak yang baik, tetapi kenapa jadi error begitu menurut bapakku?

“Kamu sering chat sama dia di mana?”

“Di WA, Pak.”

“Nah, kamu di WA juga pasang foto profil ‘kan?”

Aku mengangguk. Tiap aku chat dengannya, pastilah dia melihat foto profilku. Dan, aku tidak tahu, berapa banyak dia simpan fotoku?

“Hapus, Nak! Hapus komunikasimu sama dia! Bapak tidak rela anak Bapak menjadi anak yang tidak bener macam begini!”

“Ya, Pak.” Aku menyerahkan HP-ku waktu bapak meminta. Terserah apa yang mau dilakukan bapakku.

“Dik, hapus semua fotomu di medsos.” Pinta kakak pertamaku dengan lembut. Dia yang bercadar sejak lama, jauh sebelum menikah, tidak menampakkan wajah emosi, meskipun aku yakin di hatinya sudah bergemuruh dari tadi.

“Bener itu, Dik, turutilah bapak.” Sekarang yang bicara adalah kakakku yang kedua. Dia pernah mau mengikuti jejak kakak pertamaku, tetapi gagal.

“Gimana cara hapusnya ini?” Bapak meminta kakak pertamaku untuk menghapus semua fotoku. IG-ku jadi kosong, Facebookku jadi tidak aktif, TikTok sudah tidak pernah lagi dirambah. Terakhir, komunikasi dengannya, laki-laki dewasa itu, terputus total. Diblokir! Tidak ada celah lagi untuk masuk.

Bapak selesai menegurku. Apalagi waktu sudah malam juga. Aku beranjak ke kamar. HP-ku masih dibawa bapakku. Biarlah disita dulu, toh aku juga perlu untuk menormalkan perasaan.

Tadi, aku ditambahi nasihat tentang fotoku itu, karena terlihat sedikit rambutku. Ini yang kurang kusadari. Waktu aku upload foto, aku tidak memakai pelapis jilbab. Otomatis sebagian rambutku di bagian depan kelihatan.

Sepi

Kini duniaku jadi lebih sepi. Tidak ada lagi aktivitas di medsos. Foto-foto koleksiku sudah hilang semua. Rekaman videoku sudah tidak ada. Pergi ke sekolah aku jadi malas. Sekarang juga sudah ujian, jadi buat apa pergi ke sekolah? Tinggal menunggu saja pembagian raport.

Aku jadi rindu dengan teman-temanku di dunia maya. Terlebih lagi temanku laki-laki dewasa itu. Apakah dia tidak bertanya-tanya waktu diblokir? Semuanya kini sudah berubah, karena memang satu permintaan dari bapakku dan semua keluarga intiku: hapus! Mungkin di keluargamu biasa saja pajang foto, tetapi tidak untuk keluargaku. Aku maklumi itu.

kamis-menulis

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

13 Comments

  1. ini sangat sesuai dengan realita dan banyak dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan saya sebagai seorang ibu merasa ditegur juga, terimakasih banyak sudah mengingatkanku. Saya pun punya anak gadis, susah banget dilarang upload foto. Baru berhenti setelah anak sulungku ikut campur tangan menjaga adiknya.

  2. Nyatanya memang seperti itu sekarang. Perempuan dan Laki-laki bertemu secara virtual. Awalnya foto, namun kebanyakan kisah akan mengarah kepada hal-hal negatif yang akan merugikan pihak perempuan. Waspada dan kontrol orangtua akan menjadi penghalang untuk hal-hal yang tidak diinginkan mendekat.

    Cerita yang seru, banyak pesan di dalamnya. Terimakasih Pak Rizki

  3. Tetimakadoh Pak rizky sudahbmengingatkan.. Semoga anak-anak kita dan juga kita bisa menjaga diri. Aamiin

  4. Beruntung masih ada keluarga yang kontrol…beruntung juga si anak masih menurut….semoga menjadi baik baik saja. Aamiin. Cerita bagus bung Rizky. Salam Literasi

  5. Cerita fiksi yang sesuai dengan kondisi sekarang. Perlu pemahaman akan baik buruknya medsos.

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.