Saat akan membeli barang, biasanya kita disodorkan dua pilihan. Pilih mencicil atau tunai? Pilih mengangsur atau langsung bayar lunas saat itu juga? Kira-kira, lebih suka yang mana?
Pilih mencicil atau tunai itu memang disesuaikan dengan keadaan, terutama keuangan. Membayar tunai memang lebih murah, kita tidak lagi ada beban di masa depan, barang bisa diterima saat itu dan lebih puas, meski jelas harus punya uang yang cukup.
Sedangkan mencicil itu tidak usah bayar semuanya, tetapi barang tetap bisa diterima juga. Nah, beban yang harus dibayarkan itulah yang bisa jadi menghantui kita. Hantu utang. Sepertinya hantu jenis ini belum pernah ya dibikin film horornya?
Karena Kebiasaan
Pilih mencicil atau tunai itu sebenarnya juga tergantung kebiasaan. Ada cerita atasan saya di kantor. Waktu itu sedang berkumpul cukup banyak orang. Malam hari. Belum ada corona, sepertinya corona juga belum diciptakan. Hem…
Atasan saya menceritakan orang lain. Sebenarnya sih termasuk ghibah, tetapi ada poin yang menarik di situ. Seorang pejabat yang ditagih sesuatu. Saya lupa tagihan apa itu?
Baca Juga: Bencana Banjir di Masamba, Luwu Utara dan Sesuatu Spesial yang Sebelumnya Ada
Hal yang menarik adalah jumlah tagihannya tidak besar-besar amat. Cuma sepuluh ribu rupiah. Tapi, karena mungkin dia sering berutang, maka dia telepon bendahara, “Ke sini cepat! Cepat bayarkan tagihanku ini!”
Maksudnya dibayarkan dengan uang kantor? Atau pakai uang pribadi bendahara? Mendengar cerita itu, tentu saja saya ikut tertawa. Begitu pula yang lain. Seorang pejabat yang notabene punya gaji, tunjangan atau jenis uang lain, tetapi untuk sepuluh ribu saja tidak mampu dibayarkan dan mesti minta tolong bendahara.
Ada lagi seorang pejabat. Dia ini tiap datang ke kantor sering sekali tidak bawa uang. Padahal, penghasilannya, waow, Masya Allah. Cukup menggiurkan.
Pagi-pagi datang, eh, dia merasa lapar. Ingin makan gado-gado. Padahal, gado-gado cuma berharga sepuluh ribu rupiah. Sama dengan di atas ya!
Dia minta tolong seorang pegawai kontrak untuk membelikan. Tentu saja, pakai uang si pegawai kontrak itu. Karena masih ada hubungan keluarga, maka pegawai tersebut tidak enak menolak. Dia pun membelikan.
Mengetahui cerita itu, saya geleng-geleng kaki. Tidak mungkin, lah. Pasti kepala yang geleng-geleng. Kenapa ya ada orang seperti itu? Punya pemasukan dan penghasilan besar, tetapi untuk hal-hal yang sangat kecil, dia tidak mampu dan mengharapkan orang lain untuk memenuhinya.
Saya yakin, orang-orang seperti itu, pastilah banyak utang. Kalau bukan rumah, motor atau bahkan mobil. Persepsi bahwa seorang abdi negara atau pejabat negara seperti mereka untuk bisa memiliki sesuatu, mesti harus dengan kredit.
Apa Salah dengan Kredit?
Sebenarnya, tidak selalu salah, tetapi juga tidak selalu benar. Kalau kita bicara kredit, misalnya di bank, maka itu jelas riba dan merupakan dosa besar dalam Islam. Orang berutang kok malah diambil keuntungannya? Begitulah sistem bank di negara ini dan di semua tempat seluruh dunia. Kredit mungkin merupakan penghasilan terbesar bank.
Baca Juga: Cerpen Fiktif: Kaki-kaki Hasan
Mau mencicil juga bolah-boleh saja, asalkan punya kemampuan untuk membayar. Jangan sampai, sudah kredit motor misalnya, tidak mampu membayar, motor tersebut malah disita. Kan kasihan!
Untunglah, orang menikah itu harus dengan mahar dibayar tunai. Coba kalau misalnya, dengan kredit. Tidak mampu membayar, terus istrinya apakah seperti motor di paragraf sebelumnya itu? Hehe..
Awalnya Terbayang Ringan
Kredit yang termasuk buruk itu adalah kredit konsumtif. Mengambil suatu utang, tetapi digunakan untuk sesuatu yang tidak menghasilkan keuntungan lebih banyak.
Contohnya beli mobil hanya demi gengsi, agar dianggap orang kaya sehingga butuh mobil pribadi. Padahal, ke mana-mana juga jarang. Apalagi di kota besar, eh, malah sering dimakan macet jalanan.
Bisa jadi, sebelum ambil kredit, terbayang, “Ah, cicilannya cuma tiga ratus ribu kok!” Atau “Hanya satu juta per bulan. Penghasilanku kan lima juta rupiah.” Atau “Yang penting punya mobil dulu, lah. Cicilan empat juta, pasti gampang nantinya. Setahun juga naik gaji kok.”
Seperti itu kira-kira kalimat awalnya. Menggampangkan sesuatu yang belum tentu gampang seterusnya. Padahal, makin berjalan waktu, cicilan tersebut memang tetap. Per bulan ya dibayar sejumlah itu. Namun, penghasilan dan pengeluaran lain belum tentu stabil.
Misalnya seorang karyawan perusahaan swasta. Sudah mengambil kredit barang-barang konsumsi, tetapi karena corona, dia dirumahkan! Waduh, bagaimana membayar angsuran barang tersebut? Bagaimana melunasinya?
Okelah, sampai di sini sudah 643 kata. Sudah dulu ya!
Eh, Mas, tadi katanya mau bikin resume, kok malah pergi?! Ditunggu teman-teman lho!
Oh, baiklah. Kita akan ambil seputar cicilan dan tunai dalam tulisan ini, masih seputar pelatihan menulis bersama Om Jay dan PB PGRI. Apa hubungannya dengan dunia tulis-menulis?
Hasil dengan Buku
Pada resume kali ini, mengupas materi yang disampaikan lewat WA pada Senin (26/10). Pematerinya adalah Bapak R. Brian Prasetyawan. Seperti biasa, bagi yang penasaran dengan bannernya, ini dia:
Punya nama lengkap Raimundus Brian Prasetyawan, S.Pd. Beliau lahir di Jakarta, 30 Juni 1992. Di rumah sakit atau klinik mana tidak usah ditanyakan ya?
Kini tinggal di Bekasi. Ternyata, beliau adalah seorang guru SD di Jakarta. Hem, menurut saya, guru SD memang penting untuk terus mengasah ilmu lebih dalam, karena menjadi pondasi bagi perkembangan anak. Apalagi di tengah era sekarang, tantangan sangat luar biasa deras membanjiri anak-anak tercinta kita.
Brian menjadi penulis saat blog pertamanya dengan domain: www.praszetyawan.com selesai dibikin pada tahun 2009. Profil beliau pernah dimuat atau ditayangkan dalam buku berjudul “Majors For The Future”.
Baca Juga: Rindu Suasana Kantor, Begini Solusinya
Sebagai seorang penulis, karyanya sudah teng telecek. Artinya sudah tersebar di mana-mana. Mulai dari Harian Kompas, Kedaulatan Rakyat, Warta Kota, Media Indonesia. Selain itu, ada Tabloid Bola (ini sudah bangkrut versi media cetaknya), Harian Bola, Tabloid Soccer, dan Majalah Hidup. Yang terakhir ini, saya baru dengar.
Ada tiga buku solo yang telah terbit, yaitu: “Blog Untuk Guru Era 4.0” pada Januari 2020, “Aksi Literasi Guru Masa Kini” pada Mei 2020 dan Menerjang Tantangan Menulis Setiap Hari pada Juni 2020. Hem, punya buku solo, sementara saya belum pernah bikin buku jogja, meski saya lahir di kota tersebut.
Diterbitkan Sendiri
Apalah arti sebuah naskah, tanpa diterbitkan atau dipublikasikan ke banyak orang? Ya ‘kan? Kalau cuma menulis di kertas, terus disimpan di lemari atau rak meja belajar, lalu ada bedanya dengan anak kecil?
Sebuah tulisan atau naskah, perlu penilaian. Entah penilaian itu positif maupun negatif, yang jelas tetap dinilai. Tulisan yang tidak pernah dinilai, memang belum tentu bagus, juga belum tentu jelek.
Lewat sarana apa tulisan bisa dibaca oleh begitu banyak orang? Pilihan jawabannya ada dua, lewat internet ataukah langsung dalam bentuk fisik. Jika melalui internet, maka bisa dengan media sosial atau blog pribadi. Sedangkan langsung dalam bentuk buku.
Narasumber Brian pertama menemukan penerbit sendiri, yaitu: nulisbuku.com. Saya juga tahu website ini. Kita kirimkan naskah ke mereka sesuai format yang telah ditentukan, tetapi tanpa desain kaver dan ISBN. Keduanya bisa didapatkan dengan membayar.
Keinginan beliau yang besar untuk menerbitkan buku baru bisa terwujud pada akhir Januari 2020.
Dari buku pertama, berlanjut ke buku kedua:
Dan, buku ketiga adalah:
Brian memberikan kesempatan bagi siapapun untuk bisa menerbitkan buku. Ada berbagai syarat-syarat tertentu untuk bisa menerbitkan buku melalui rekanan Brian tersebut. Di antaranya: ukuran kertas A5 (14x20cm), huruf Times New Roman ukuran 12, spasi 1,5, margin 2 cm semua dan paragraf rata kiri-kanan (justify).
Selanjutnya?
Sebenarnya, pemberian materi pada Senin (26/10) yang lalu itu menjadi jawaban, seperti apa ujung dari pelatihan menulis bersama Om Jay dan PB PGRI? Ujungnya adalah menerbitkan sebuah buku tunggal. Dari 20 resume yang telah disusun, bisa dibuat menjadi satu buku tersendiri.
Inilah yang saya maksudnya dengan pilih mencicil atau tunai. Mencicil tiap pertemuan dengan resume-resume, sampai 20 atau lebih, tentu lebih ringan daripada langsung menjadi satu buku.
Apakah mencicil buku tersebut sama dengan mencicil kendaraan seperti di awal tulisan ini? Oh, tentu nilainya lain! Dibayangkan saja, sebuah kendaraan yang dibayar secara kredit, begitu ke luar dari dealer, pasti nilainya akan turun. Harga jual kembalinya pastilah tidak sama dengan barunya. Coba saja kalau tidak percaya, hehe…
Hal yang berbeda, saat kita mengangsur rumah atau tanah. Harga di masa depan, Insya Allah akan lebih tinggi. Cicilan kita terasa datar saja atau makin turun, sementara nilai dari barang yang kita cicil tersebut terus meningkat.
Baca Juga: KKN, Dari Kormanit Menjadi Kormanut
Lalu buku? Nilai dari sebuah itu sebenarnya mulia sekali. Seseorang bisa menjadi kaya dari menulis buku, karena dia mendapatkan royalti.
Tidak hanya itu, ketika bukunya laris, dia bisa diundang jadi pembicara. Entah membawakan materi tentang bukunya sendiri atau hal-hal yang berkaitan dengan citra dirinya sebagai penulis.
Buku fiksi, laris manis, dibuat film. Penulisnya makin berlimpah keuntungan. Dan, ini sudah bukan hil yang mustahal alias hal yang mustahil.
Ada yang Tidak Boleh Dicicil
Untuk menulis buku, pengerjaannya bisa dicicil. Bisa dikerjakan tiap hari. Tergantung penulisnya mau berapa lama? Semakin sering menulis, maka semakin cepat pula jadinya.
Namun, ada sebenarnya hal yang tidak boleh sedikit-sedikit. Harus tunai. Harus jelas di awal. Apa itu? Hal tersebut adalah alasan di balik kita menulis.
Mungkin selama ini kita terlalu banyak memikirkan aspek-aspek teknisnya. Bagaimana menulis dan lain sebagainya, tetapi pendorong utama menulis itu masih belum jelas, benar?
Menulis karena uang? Oke, ini juga bagus, karena memang manusiawi. Menulis karena ingin terkenal? Boleh juga, sebagai simbol eksis. Menulis karena ingin mendapatkan kredit dalam jenjang karir? Oh, ini tentu juga benar, karena menyangkut dengan pekerjaan dan usaha mencari rezeki dari situ.
Akan tetapi, adakah alasan lain yang lebih kuat dan menguatkan? Ya, ada! Alasan tersebut adalah legacy. Itu adalah bicara tentang warisan. Kehadiran buku adalah sebuah warisan bagi orang lain, terlebih keluarga kita. Mestilah kita berpikir, apa yang mau kita wariskan untuk mereka?
Warisan harta? Oh, tentu. Namun, mungkin akan jadi rebutan di antara anak-anak. Muncul pertikaian sesama saudara sendiri. Harta yang berwujud rumah, motor, mobil, perhiasan, tanah atau benda lainnya, jika tidak diatur dengan benar, betul-betul bisa menjadi perpecahan keluarga.
Baca Juga: 9 Alasan Tanpa Pakai Adat Pernikahan
Buku, dengan ilmu yang melekat di dalamnya, adalah sebuah warisan yang indah. Mana ada anak-anak yang berebut buku bapaknya? Mana ada yang berebut ilmu bapaknya? Tidak ada bukan?
Memberikan warisan atau legacy yang baik untuk anak keturunan kita semestinya menjadi motivasi yang kuat, yang tunai, ketika kita menulis buku. Yah, meskipun sekarang orang lebih tertarik ke gawai, dan meninggalkan buku fisik, tetapi isi dari buku itu tetap bisa diolah ke dalam berbagai media.
Memikirkan uang, terkenal atau pekerjaan dari menulis buku jadikan tujuan sampingan saja. Tujuan utamanya adalah warisan. Amal jariyah. Apa yang mau kita tinggalkan ketika kita sudah tidak di dunia ini? Itulah motivasi tunai yang harus ada dalam hati dan pikiran kita. Mengerjakan atau menuju ke sana bisa dengan mencicil.
Kesimpulan
Bagi yang tidak terbiasa, apapun akan terasa berat. Tidak terbiasa menerbitkan buku, waow, pastilah akan terasa berat! Begitu juga yang tidak terbiasa menulis, meski yang ringan-ringan.
Namun, manusia memang diliputi dengan kelemahan. Memindahkan satu buah gunung sekaligus pastilah berat. Solusinya, dengan perlahan-lahan, mengambil tanahnya sedikit demi sedikit. Seiring waktu, gunung itu bisa berpindah juga.
Impian menulis buku itu, jadikanlah seperti gunung yang tegak menjulang. Akarnya kuat menghujam bumi, sedangkan pucuknya kokoh menantang angkasa. Jadilah penulis dengan impian gunung yang tidak mudah goyah oleh kemalasan, kegagalan maupun penolakan.
Ditolak penerbit mayor, ada solusi berupa penerbit indie yang dikelola oleh rekan Brian Prasetyawan. Toh, ketika sudah jadi, nilai-nilai yang ada berada dalam tanggung jawab si penulis sendiri.
Motivasi yang kuat dan tunai terjalin dalam hati dan pikiran, maka itulah yang terbaik. Jika sudah dimiliki, menulis menjadi sangat menyenangkan. Sangat menyejukkan. Bahkan menjadi rekreasi pikiran, di tengah orang lain mesti mencari tempat-tempat wisata untuk berekreasi.
Menulis adalah pekerjaan sepi, pekerjaan senyap. Namun, hasilnya pun dianggap sepi dan senyap. Apalagi kalau bukan pahala seandainya karya kita sangat bermanfaat untuk orang lain? Ya ‘kan? Yuk, jadi penulis hebat! Saya, kamu, kita, Insya Allah pasti bisa!
Baca Juga: Aku Bukanlah Pelakor [Diangkat Dari Kisah Nyata]
Mantap. Keren banget, resumenya. Ada pesan mora yang cukup baik disana, bukan hanya satu pesan, tapi banyak pesan moral. Sukses terus pak Rizki….
Alhamdulillah, pesan moral yang lebih pas untuk diri sendiri.
Kereen mas Rizky.. informasi ttp tersampaikn wlpun terbalut cerita..
Ya, cerita sekadar pelengkap saja Bu.
Bacanya mesti tunai ini gak boleh nyicil! Tersesat nanti pikiran kemana2
Mantap tulisannya pak ketua kreatif
Alhamdulillah, makasih Pak Budi.
Oke saya tak mau mencicil koment aja,, sukses pokoke
Ya, pak, harus cash memang kalau komen. Hehe…
Teope pokoke buat pak Rizky. Salam literasi tiada henti
Salam literasi juga ya, Pak..!
Paduan cerita yang selalu apik. Alur cerita yang selalu beragam disetiap pertemuannya. keren sekali Pak rizky
Alhamdulillah, makasih Bu. Memang selalu cari sesuatu yang beda di setiap tulisan. 😁