Istri saya semakin mendekati melahirkan. Biasanya, saat-saat seperti itu, ibuku datang ke Sultra ini dari Jogja. Seperti tanggal 12 Januari yang lalu.
Kondisi berbeda dialami saya. Ketika anak pertama dan kedua lahir, saya belum bisa mengendarai mobil. Sekarang Alhamdulillah sudah bisa. Alhasil, perjalanan ke Kendari dari Bombana tidak perlu pakai sepeda motor. Tidak perlu pula pakai mobil angkot yang platnya kuning itu, tetapi bermerek seperti Avanza, Innova, Terios mobil lama, dan lain sebagainya.
Hari Rabu, tanggal 12 seperti yang saya tulis di atas, jadwal kedatangan ibuku sore. Sehari sebelumnya, saya sudah mengajukan izin dari kantor. Ada sih teman menyarankan, kok izin? Kenapa tidak ambil cuti saja?
Nah, itu dia persoalannya. Kalau saya mengambil cuti, maka harus sampai di tingkat provinsi. Jabatan yang saya pegang memerlukan izin hingga ke kantor di tingkat provinsi. Ribet. Jadi, pilih izin saja, meskipun ada konsekuensi tunjangan kinerja saya dipotong.
Bingung
Awal sebelum berangkat, saya dilanda kegalauan yang luar biasa. Mobil dinas yang saya pakai adalah Suzuki APV merah. Itu mati plat nomornya. Terakhir tahun 2019.
Kekhawatiran saya adalah jangan-jangan nanti ada razia di tengah jalan? Biasanya kan begitu, ada pemeriksaan surat-surat kendaraan antara jalan dari Bombana ke Kendari atau sebaliknya. Saya khawatir dong, jangan sampai nanti ditilang oleh polisi yang terhormat itu.
Makanya, saya memutuskan untuk meminjam mobil yang dipakai oleh atasan saya. Sebuah mobil Avanza warna silver.
Namun, yang menjadi masalah, STNK ada, plat nomor tidak mati, tetapi mobil tersebut tidak ada klaksonnya. Ya betul, dipencet di bagian setir, tidak ada suara klakson. Waduh, saya jadi makin was-was! Bagaimana nanti di jalan kalau mau menyingkirkan orang? Bagaimana nanti kalau memberitahu orang mobil saya mau lewat? Ini bukan perkara yang main-main, karena menyangkut keselamatan saya juga.
Saya bertanya kepada dua orang staf kantor. Memang begitu kondisi mobil. Namun, salah seorang staf bilang bahwa untuk surat-surat kendaraan tidak perlu dipermasalahkan. Tidak usah khawatir jika mobil dinas tidak ada surat-suratnya. Jalan saja. Oh, begitu.
Seorang teman, yang notabene juga guru saya, menganjurkan untuk berangkat saja pagi-pagi sekali. Jam setengah enam atau malah sebelum Subuh. Agar nanti terhindar dari razia polisi seandainya ada. Tidak pernah ada razia pagi-pagi sekali di jalur Bombana-Kendari dan sebaliknya.
Atau sekalian malam saja. Saya teringat teman saya yang tinggal di area masjid, berangkatnya seperti maling saja. Agar itu tadi, terhindar dari razia.
Mobil Avanza sudah saya bawa dari rumah bos. Sempat terjadi insiden kecil waktu mobil akan keluar pagar. Ternyata jatuh di jalan. Ada bagian jalan yang tinggi dan mobil terperosok di situ. Untungnya, bos sedang keluar. Saya mengambil dari anaknya yang sedang ada di rumah. Alhamdulillah, aman. Meskipun ada beberapa bagian tanaman bos yang rusak terkena mobil yang naas tersebut.
Keputusan Selanjutnya
Tidak cuma perkara mobil yang harus diputuskan dengan cepat dan tepat, tetapi juga keikutsertaan istri saya. Apakah dia perlu ikut atau tidak? Sebab, kalau ikut harus siap-siap melewati jalanan yang cukup rusak. Akhirnya, ikut saja deh!
Ketika sudah sampai di Kendari, kami melakukan pemeriksaan di dokter Suhartini. Lokasinya cukup dekat dengan rumah paman saya yang juga sebagai tempat menginap.
Seperti sebelum-sebelumnya, menjelang kelahiran anak saya, ibu selalu datang dari Jogja. Cuma ibu saya yang datang, bapak selalu ada urusan lain dan belum pernah sampai ke Bombana. Yah, tidak apa-apa, lah. Cukup ibu yang datang, hatiku sudah senang.
Pemeriksaan di dokter perempuan tersebut memakan waktu yang cukup lama. Mengantri dari jam 8 pagi, saat kondisi saya, istri, dan anak-anak belum mandi. Saya pikir, kalau harus mandi dulu, keburu terlambat mengantri. Waktu yang ada beberapa menit sebelum jam 8. Makanya, tidak usah mandi dulu, toh, petugasnya tidak bakal bertanya juga.
Mendaftar di Rumah Sakit Hati Mulia tempat dokter Suhartini praktik, sebenarnya bisa memakai BPJS. Namun, syaratnya harus ada rujukan dari Puskesmas. Wah, kalau itu sih jelas tidak ada! Soalnya andai ada rujukan dari Puskesmas di Bombana, pasti diarahkan untuk ke dokter kandungan, tetapi laki-laki. Hem, istri saya dan banyak perempuan lainnya akan merasa risih jika diperiksa dokter kandungan laki-laki. Ya ‘kan?
Tidak Cuma Periksa Kandungan
Mendapatkan nomor antrian di bagian pendaftaran urutan kedua. Membayar 20 ribu untuk biaya pendaftaran, masuk ke level selanjutnya di bagian kandungan. Kalau yang ini nomor pertama. Masih sepi bangku-bangku yang ada.
Sebelum masuk atau bertemu dengan dokter Suhartini secara langsung, istri saya ditanyai segala macam oleh asisten. Sepertinya dia perawat. Pakai masker dan kacamata. Entah, anaknya berapa? Lho, kok malah penasaran jumlah anaknya? Hehe..
Menjelang jam 10 pagi, istri saya dipanggil untuk masuk periksa. Seperti biasa, pakai USG. Hasilnya tetap sama yang lalu-lalu, jenis kelamin calon anak saya laki-laki. Ya, memang sudah begitu takdirnya bukan?
Namun, istri saya diperiksa juga gula darah, hemoglobin, bahkan tes HIV. Memberikan pengantar ke bagian laboratorium, diambil darahnya. Membayar 230 ribu. Sedangkan tadi di depan meja dokter Suhartini, saya sudah mengeluarkan 200 ribu. Jadinya, 430 ribu. Tidak apa-apa, lah, toh demi ibu dan anak juga, ya nggak?
Hari itu, urusan periksa-memeriksa sudah beres setelah saya menerima hasil USG dan buku kuning kecil dari dokter perempuan setengah baya tersebut. Buku kuning itu bisa ditunjukkan ke dokter kandungan yang ada di Bombana. Ditanya mau melahirkan di mana? Saya jawab tentu saja di rumah sakit Bombana. Tidak mungkin melahirkan di dalam rumah. Khawatir ada darurat. Selain itu membersihkan darah-darahnya itu yang sangat membuat repot. Lebih baik rumah sakit yang kotor, jangan rumahku. Haha…
Perjalanan Pulang
Urusan saya selanjutnya adalah mengambil dokumen SKP di kantor provinsi. Memakai mobil dinas yang sama, warna merah, saya meluncur ke sana. Prosesnya cukup cepat. Saya bertemu dengan staf yang sudah janjian sebelumnya. Tidak ditanya, “Bombana, bagaimana udang?” Kalau sudah ditanya begitu, ‘kan ujung-ujungnya adalah gratifikasi bukan?
Selain mengambil dokumen, saya juga mengantar kedua anak ke tempat sepupunya alias ipar saya. Lokasinya di BTN Tunggala. Menuju ke perumahan tersebut, ada jalan yang jelek, ada jalan yang halus. Awalnya lewat jalan jelek, pulangnya jalan yang bagus meskipun sedikit memutar.
Di sana disuguhi dengan cukup luar biasa. Puding durian yang rasanya manis banget, teh hangat, dan makan siang. Padahal tadi sebelum ke situ sudah makan, tetapi toh tetap makan lagi demi menghormati tuan dan nyonya rumah.
Sudah, semua urusan beres. Kini saatnya untuk pulang ke Bombana. Dari rumah paman, jam 4 sore. Ini pastinya akan tembus malam, makanya saya bersiap untuk peralihan cahaya. Kata bapak saya, paling susah memang melewati waktu maghrib. Ada perubahan cahaya dari terang ke gelap. Kalau mau gelap, mending gelap sekalian. Hem, mau menunggu gelap total? Nanti tibanya bisa lebih malam, bahkan larut malam. Nggak deh!
Alhamdulillah, perjalanan cukup lancar. Mobil yang usianya sudah cukup lanjut itu melaju dengan mulus. Dan, satu lagi, peran klakson sangatlah membantu. Memberitahu ke orang-orang kalau saya mau lewat. Selain itu, mencegah terjadi sentuhan secara fisik dengan kendaraan maupun pejalan kaki.
Beristirahat sebentar di masjid besar di Tinanggea. Sholat jama qashar Maghrib Isya di sana. Sebenarnya, saya melakukan itu menjelang adzan Isya. Saya berpikir, kalau nanti ikut sholat Isya berjamaah, akan tetap full 4 rakaat. Bukankah lebih baik kalau mengambil keringanan atau rukhshoh dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala? So, dari sholat Maghrib yang tiga rakaat, dilanjutkan ke dua rakaat. Meskipun baru terdengar sholawat dari masjid tersebut.
Sebelum benar-benar sampai di rumah, mampir dulu ke warung Sari Laut di daerah Lampopala. Saya tidak makan apa-apa. Ibu minum teh hangat. Sementara istri saya makan nasi ayam goreng.
Jam sepuluh malam betul-betul tiba di rumah. Alhamdulillah. Nah, terpikir mobil Avanza yang tanpa rem dan diparkir dengan rumah tetangga. Bagaimana cara mengembalikannya?
Ternyata, ada staf kantor yang mau mengambilnya. Tidak perlu repot-repot mengembalikan, apalagi ketika itu hujan sangat deras.
Begitu saja kisah perjalanan saya dari Bombana ke Kendari dan balik lagi ke sini. Rencana menggunakan mobil pinjaman dari bos, meskipun STNK-nya lengkap dan plat nomor tidak mati, tetapi klaksonnya tidak ada sama sekali! Saya memilih memakai mobil dinas APV warna merah. Plat nomornya mati, terakhir tahun 2019, tetapi klaksonnya hidup. Sangat hidup. Jangan sampai gara-gara klakson yang mati, nanti ada yang mati. Jangan sampai begitu bukan?