Apakah Anda tahu generasi alfa? Tentu di sini tidak ada kaitannya dengan anak-anak yang suka membolos sekolah lho alias alpa itu. Kaitannya dengan pengasuhan anak, generasi alfa itu lahir antara tahun 2010 sampai dengan 2024. Paling tinggi umur 9 tahun. Bagaimana ayah berperan di sini?
Generasi alfa dengan kondisi saat ini memang cocok karena lahir betul-betul di era milenial. Mereka lahir di abad ke-21. Generasi ini berada dalam perkembangan teknologi digital yang luar biasa. Smartphone atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan gawai itu, adalah fasilitas-fasilitas yang mengiringi kehidupan generasi alfa. Selain itu, ada juga augmented reality (AR), virtual reality, bahkan reality show pun ada. Khusus yang terakhir ini, teknologi yang dipakai adalah teknologi skenario mengelabui penonton. Anda setuju?
Ada seorang peneliti sosial bernama Menurut Mark McCrindle, mungkin Anda kenal? Pernah makan jagung bakar bareng? Nah, tidak ada kaitannya dengan jagung bakar, Mas Mark mengungkapkan sebuah fenomena bahwa generasi alfa adalah paling banyak masuk di pendidikan formal.
Belajar Pola Tumbuh Kembang Anak
Dalam urusan pengasuhan anak, orang tua atau dalam hal ini adalah ayah selalu berusaha untuk mencari tahu pola-pola yang lebih baik. Mereka bisa mencari lewat gawainya, menjelajah internet sampai kadang lupa waktu, lupa makan, pada akhirnya lupa taruh HP-nya di mana? Ayah pada era generasi alfa ini juga mengambil informasi dari rekan-rekan mereka, yang notabene juga dapat dari internet.
Ketika ayah mulai terlihat dalam pengasuhan anak dengan mengecap informasi-informasi penting, maka dia berkeinginan pula untuk ikut terlibat, lebih banyak dan besar daripada sebelumnya. Apalagi bila dia punya pekerjaan dengan pola waktu yang tidak terlalu terikat. Misalnya, kerja dengan sistem remote. Bagaimana itu?
Kerja dengan sistem remote tidak selalu berarti kerja sambil tekan-tekan remote untuk ganti channel TV, tetapi membentuk sebuah tim, dengan tujuan yang telah disepakati. Hal ini biasanya untuk bidang bisnis. Ketua tim mungkin ada di Jakarta. Anggotanya ada di Jogja misalnya, Bandung, Papua, atau malah Malaysia. Mereka terhubung dengan internet, bisa dengan satu grup Whatsapp atau Telegram dan pembagian tugas yang jelas.
Sistem kerja seperti ini sudah mulai banyak dilakukan oleh usaha bisnis online. Adminnya bisa tersebar di berbagai daerah. Oleh karena waktunya lebih fleksibel dan bisa dikerjakan di rumah, maka pola pengasuhan anak juga akan berubah. Sang ayah yang menjalani kerja begitu akan bisa terus bertemu dengan buah hatinya. Bandingkan dengan di kantor biasa. Ayah harus pulang dulu untuk menemui anaknya. Itupun belum ketemu macet, demonstrasi atau malah proyek jalannya dari hasil utang. Memang tidak ada hubungannya sama sekali sih.
Mempertahankan Keterlibatan Ayah
Kalau ibu sudah cukup repot dengan pekerjaan rumah tangga, macam mencuci piring, baju, celana, daster, gelas, sendok, sendok robek alias garpu dan lain sebagainya, maka ayah diharapkan bisa membantu dalam pengasuhan anak. Sehabis pulang kerja, bolehlah main dulu dengan anak-anak. Urusan HP itu belakangan saja. Ada lho, seorang ayah, yang sering duduk di depan rumahnya alias terasnya. Tapi kerjaannya cuma main HP. Istri dan anak perempuannya dicuekkan saja. Ketika saya lewat di depan rumah mereka, memang sudah sering begitu.
Ayah adalah sosok yang memang dianggap paling kuat dalam keluarga. Anak mengeluh kepada ibu, sedangkan ibu mengeluh kepada ayah. Eh, kok anak juga tetap bisa mengeluh kepada ayah. Sosok ayah adalah tumpuan segalanya dalam keluarga itu. Oleh karena itu, semestinya, ayah adalah figur yang menjalin keterlibatan dalam rumah tangga, tentu juga pengasuhan anak itu sendiri.
Menjadi ayah memang tidak mudah. Tidak cuma sekadar modal anu yang cuma satu itu – apa hayo – dan berbangga dengan itu pula. Ketika berhasil mempunyai anak, maka pengasuhan setelah itu mesti lebih maksimal. Pada akhirnya, ibu yang telah berusaha dalam proses pengasuhan anak, ayahlah yang menyempurnakannya.
2 Comments