Muncul pelarangan cadar dan celana cingkrang di lingkungan pemerintahan oleh Menteri Agama, Fachrul Razi. Katanya hal itu demi alasan keamanan. Jadi, dianggapnya ada sekuriti di tiap kantor, masih kurang ya?
Sebelum membahas lebih jauh tentang pelarangan cadar di lingkungan pemerintahan, ada sebuah kisah menarik yang betul-betul terjadi di daerah saya. Ceritanya begini, ada sebuah radio dakwah yang menggelar acara talkshow atau diskusi seputar agama Islam. Waktu itu, ada sesi tanya jawab. Pendengar yang bertanya, ustadz yang menjawab. Bagaimana sih pertanyaannya?
Seorang laki-laki yang tidak kelihatan wajahnya, ini jelas bukan karena dia pakai cadar juga, tapi karena memang media radio kan sudah seperti itu. Antara penyiar dan pendengar tidak bisa saling baku lihat muka. Terus, apa pertanyaannya? Wah, kamu tanya terus!
Si pendengar itu berniat mendebat ustadz pengisi acara tentang cadar. Katanya, cadar itu ada kekurangannya. Ketika ada perempuan bercadar, terus bagaimana membedakan yang satu dengan lainnya? Persis dengan sebuah tweet di bawah ini:
Mana Jubaedah, mana Maemunah? pic.twitter.com/5TDXTOVc6d
— Rexy Ambarwati (@AmbarwatiRexy) August 31, 2019
Kira-kira menurut kamu sendiri, bagaimana menjawab yang begini? Benarkah bisa dibedakan antara Jubaedah sama Maemunah? Jawabannya gampang: bisa!
Tapi, hal itu berujung pada tiga kemungkinan jawaban:
- Si pengetweet memangnya sudah yakin betul ada Jubaedah sama Maemunah di situ? Kenalkah sama mereka berdua? Jangan-jangan tidak ada sama sekali nama Jubaedah dan Maemunah di kerumunan perempuan bercadar itu? Siapa tahu yang ada malah nama Lisa, Ayu, Suci, Anti sampai Suwarni? Bisa saja bukan? Nah, pasti pertanyaan itu kembali ke saya sendiri: Memangnya saya kenal mereka? Haduh…
- Meskipun ternyata ada perempuan yang tidak bercadar, bahkan berjilbab sekalipun, bisa sulit bedakan antara Jubaedah dan Maemunah. Hal ini terjadi apabila orang yang ingin mengenalnya itu mudah lupa. Alhasil, aduh, tadi Jubaedah itu yang rambutnya keriting atau lurus ya? Kalau Maemunah, hidungnya keriting atau lurus ya? Halah…
- Kalau ternyata memang kenal dan tahu nama Jubaedah dan Maemunah, masa tidak bisa bedakan sih? Ini yang menjadi jawaban sederhana dan singkat ke laki-laki penelpon itu. Jawabannya: telpon saja! WA saja! Beres ‘kan? Tinggal telpon atau kirim pesan, ketemunya di mana? Di bawah pohon mangga ya? Kalau oke jawabannya, maka tinggal cari pohon mangga di situ. Bila tidak ada, sebaiknya tanam dulu, lah. Baru ketemuan.
Sebenarnya dari pertanyaan itu, jawabannya mudah sehingga tidak perlu dijadikan berbelit-belit ibarat meja birokrasi dalam iklan rokok itu. Orangnya cuma satu, tapi mejanya ada empat atau lima. Pindah dari meja satu, sampai meja terakhir. Apakah masih ada birokrasi pemerintahan seperti itu? Silakan kamu yang buktikan sendiri ya.. Hehe…
Mengenali Harus Lewat Wajah Asli?
Jika ingin tahu semua wajah perempuan, sebenarnya untuk apa juga sih? Mau nikahi mereka semua? Atau mau memuaskan nafsu saja?
Ada sebuah kisah yang cukup menarik tentang menikah dengan anjing. Lho, yang bener ini? Maksudnya ini ibarat saja tentang seorang laki-laki yang selalu berpikir istri orang lain, perempuan lain, lebih cantik daripada istrinya.
Baca Juga: 5 Ciri Penting Jika Anda Cerdas Atau Pintar
Salah satu penyerangan terhadap orang yang tidak suka dengan cadar adalah kita tidak bisa mengenali setiap perempuan. Lebih khusus lagi, tidak bisa melihat mukanya untuk mengenalnya. Wajah perempuan itu mesti dibuka agar dikenal. Hem, ada bantahan terhadap hal ini? Baiklah, ini dia…
1. Mengenal Istri Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dan Para Shahabiyah
Jika setiap perempuan perlu dikenali melalui wajahnya, terus cara kita mengenal istri-istri Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam bagaimana? Apakah harus dengan fotonya? Mana fotonya? Memangnya zaman nabi sudah ada kamera 360? Kamera jahat seperti yang sering kamu bilang itu? Tentunya tidak ada.
Cara kita mengenal istri nabi juga para shahabiyah yang lain adalah melalui buku-buku ulama atau ceramah para ustadz yang membahas tentang buku-buku bermutu itu. Kita tahu Aisyah Radhiyallohu anha. Beliau adalah istri Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam yang paling dicintainya. Menurut literatur yang ada, beliau berparas cantik, berkulit putih kemerah-merahan, dan lain sebagainya. Tidak usah kita bayangkan cantiknya seperti apa, putihnya seperti apa? Cukup begitu saja.
Kita bisa mengenal seorang perempuan betul-betul melalui atau melihat wajahnya adalah tatkala mau menikah dengan dia. Hal ini disyariatkan dalam agama Islam agar lebih mantap dalam menikahinya. Itupun dengan kemungkinan lamaran kita akan diterima. Jika sejak awal sudah tidak mau, baik orangnya sendiri maupun keluarganya, ngapain juga mau lihat? Bikin sakit mata saja. Haha…
2. Tertipu dengan Wajah
Bukannya kamu sudah sering tertipu dengan wajah? Ini yang banyak terjadi sekarang. Seberapa asli sih wajah seseorang sehingga kita perlu mengenalnya lebih dalam? Eits, sudah banyak korban lho karena wajah ini. Apalagi di medsos. Kelihatan cantik, tapi ternyata ancur. Kalau begitu, lebih baik kita mengenal dengan kepribadian dan sifat baiknya. Tentang wajah, kecuali teman yang langsung ketemu saja.
Seperti Kembali ke Orde Baru
Mungkin bagi kamu yang milenial sekarang, tentu tidak lahir ketika zaman Orde Baru. Ya ‘kan? Mana ada orang bisa lahir dua kali? Kalaupun ada, itu cuma perumpamaan. Wah, seperti terlahir kembali! Menemukanmu di hatiku, bagaikan hidupku baru kembali. Halah…
Keadaan pelarangan cadar dan celana cingkrang sekarang ini, mirip dengan kejadian pelarangan jilbab di zaman Orba.
Jika sekarang cadar dilarang, dulu jilbab pun pernah merasakan hal yang sama lho. Dalam sebuah buku berjudul Pendidikan yang Memiskinkan yang ditulis oleh pengamat pendidikan: Darmaningtyas.
Jilbab pernah dilarang di masa Presiden Soeharto. Resminya keluar di tahun 1982 dan 1983 tentang Pedoman Pakaian Seragam Anak Sekolah (PSAS). Tentu saja, timbul kasus di sejumlah daerah Indonesia.
Salah satunya pada tahun 1985 ketika ada 19 siswa SMA 1 Jakarta diskors. Tidak cuma itu, dipersilakan pindah sekolah hanya karena mereka memakai jilbab. Kasus di SMA 1 tersebut hanyalah satu dari sekian banyak kasus serupa yang terjadi bertubi-tubi setahun sebelumnya.
Baca Juga: Posisi Siap Sebenarnya Untuk Siapa?
Polemik muncul di media massa. Pada sebuah surat pembaca di majalah Tempo, pendukung jilbab membela diri dengan memberikan pendapat: semestinya murid-murid itu sah pakai jilbab di sekolah. Sebabnya, mereka cuma ingin “mengamalkan pendidikan moral dan agama serta melaksanakan TAP II MPR tahun 1983″. Apa isinya? Oh, rupanya menyatakan bahwa tujuan pendidikan nasional adalah “Meningkatkan Ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.”
Ternyata, ada balasan dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kepala Humas dan Lembaga Negara Mudjito, melalui Tempo, memberikan 8 alasan jilbab lebih baik tidak dikenakan di sekolah. Jangan kaget bin lucu ya, kalau ternyata alasan nomor 7 bisa bikin kamu ngakak guling-guling.
- Seragam berfungsi menghilangkan perbedaan berdasarkan suku, ras, agama, dan golongan.
- Seragam bertujuan menumbuhkan rasa persatuan.
- Kerudung (isitlah zaman itu) bukan soal agama sehingga tidak ada hubungannya dengan TAP II MPR Tahun 1983. Justru masalah kerudung itu berhubungan dengan pasal 27 ayat 1 UUD 1945 bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya.
- Seragam yang penting sopan dan menampilkan budaya bangsa.
- Dalam ajaran islam, ulama sepakat bahwa aurat harus ditutup saat beribadah, tetapi di luar ibadah, ulama masih berbeda pendapat.
- Sudah ada ketentuan dari Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah
- Harus disadari bahwa sebaik-baiknya pakaian adalah iman dan takwa.
- Polemik soal seragam sekolah ini di Indonesia sudah selesai, kecuali di beberapa sekolah di Bandung.
Sampai kapan pelarangan jilbab itu berhenti? Nah, pada era Menteri Pendidikan, Wardiman Djojonegoro, yang menjabat pada tahun 1993-1998. Ini adalah masa yang tercatat sejarah sebagai momen Presiden Soeharto mendekat kepada kekuatan Islam. Hal itu terjadi setelah beliau naik haji pada tahun 1991. Naik haji yang pertama, di usia 70 tahun. Kamu mau naik haji umur berapa, Gaes? Hehe..
Celana Cingkrang Kebanjiran, Tapi Kebanjiran Apa Dulu Nih?
Sebelum mencoba mengulik tentang celana cingkrang, saya punya sedikit kisah lucu. Kalau ini nyata benarnya. Dijamin! Kalau tidak percaya, coba tanya langsung orangnya yang mengalami deh.
Saya punya seorang kerabat, suami dari sepupu saya. Rambutnya gondrong. Keriting. Suatu kali, dia masuk ke dalam ruangan dosen saat dia masih kuliah. Muncullah percakapan:
“Lain kali, kalau ke sini, pakai celana panjang ya? Masa celana selutut begitu?”
Lalu, apa yang dibilang kerabat saya itu?
Begini jawabannya, “Lho, ini sudah yang paling panjang, he, Bu!”
Nah, bagaimana menurut kamu sendiri kalau jadi dosen atau petugas kampusnya? Celana selutut itu sudah yang paling panjang. Yang lebih pendek, oh, mungkin masih banyak. Bukankah yang dicari adalah celana yang paling panjang?
Aturan kampus semacam memakai celana panjang, tidak berkaos oblong dan bersepatu sudah umum diketahui oleh mahasiswa. Ada ditempel di ruangan dosen kok. Padahal ketika saya kuliah dulu di Fisipol UGM, mengambil ilmu lain di jurusan Komunikasi, ada malah dosen yang mengajar pakai kaos oblong warna putih, celana jins dan sepatu kets. Itu dosen lho, bukan mahasiswa!
Toh, dunia mahasiswa memang bisa ada kenyataan seperti itu. Mahasiswa sudah dianggap dewasa, meskipun masih banyak yang belum bisa mencari duit sendiri.
Baca Juga: Betulkah Blokir Kontak Membuat Nyaman di Otak?
Sekarang, kaitannya dengan celana cingkrang, ini menjadi pasangannya cadar. Termasuk dengan jenggot pula. Sudah begitu memang yang cingkrang dan jenggot dikatakan ikhwah atau ikhwan, sementara yang cadar dinamakan akhwat.
Mungkin masih banyak yang masih mencela model celana di atas mata kaki ini. Dibilang celana kebanjiran. Tunggu dulu! Kebanjiran apa? Tentang hal tersebut, tentunya ada dua jenis kebanjiran. Satu kebanjiran pahala. Satunya kebanjiran dosa.
Mengikuti sunnah Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dengan celana yang tidak isbal atau di atas mata kaki, memang mendatangkan pahala bagi pemakainya. Apalagi jika itu dicontoh jadi amal jariyah. Tentunya pahala semakin mengalir, ibarat banjir.
Sementara yang celananya di bawah mata kaki, rupanya bukan seperti itu yang dicontohkan oleh Baginda Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam. Jika pakaiannya tidak sesuai contoh dari teladan kita, maka tentu mendatangkan dosa. Karena beliau menerima wahyu dari Allah, pastilah itu yang diinginkan Allah untuk hamba-hamba-Nya yang laki-laki.
Tunggu dulu, sebelum lebih jauh tentang pelarangan cadar dan celana cingkrang di kantor-kantor pemerintah, mungkin kamu perlu simak artis laki-laki yang tetap keren dengan celana cingkrangnya. Rupanya, dengan celana di atas mata kaki itu, untuk bergaya boleh juga kok.
Atau memang karena dasarnya artis ya? Makanya, mau dipakaikan apa pun, tetap terlihat bagus. Hem, mungkin juga sih. Tapi, setidaknya bahwa orang yang bercelana cingkrang itu tidak selalu terlihat kulu-kulu, culun, ndeso, apalagi kampungan. Sekarang, lanjut ke bagian utama di tulisan ini. Apa itu? Tuh, di bawah ini:
Pelarangan Cadar dan Celana Cingkrang di Kantor Pemerintah
Sebenarnya, memakai cadar dan celana di atas mata kaki itu sudah suatu perjuangan yang sangat berat lho! Bayangkan memakai pakaian model begitu pastilah terasa asing di masyarakat kita. Mencolok sekali tampaknya. Apalagi jika di suatu kantor pemerintah yang notabene bukan milik pribadi, lebih-lebih.
Memang, banyak yang bereaksi terhadap wacana pelarangan cadar dan celana cingkrang, apalagi bagi ASN. Kerja di kantor tidak selalu kaitannya dengan penampilan. Banyak pula yang celananya di bawah mata kaki, tidak berjenggot, yang perempuan berjilbab tapi modelnya ketat, ternyata malas datang di kantor. Ketika datang pun, tidak ada sesuatu yang bisa dibikin.
Sudah menjadi semacam rahasia umum bahwa menjadi PNS itu pekerjaannya santai. Datang terlambat, pulang cepat, di tengah-tengahnya tidak buat apa-apa.
Baca Juga: Kaum Rebahan Tetap Butuh Perubahan?
Meskipun hal tersebut tidak bisa disamaratakan untuk semua PNS. Bahkan, untuk yang menjadi pengelola keuangan, ada momen-momen tertentu sibuk luar biasa. Seperti datang pemeriksa, entah itu dari Inspektorat, BPKP (Badan Pengawasan Keuangan & Pembangunan) dan terakhir, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).
Bila atau seandainya, cadar dan celana cingkrang itu betul-betul dilarang di kantor-kantor pemerintahan karena para ASN itu bukanlah karyawan swasta, maka apa yang mau dilakukan oleh ASN yang bersangkutan? Ini menjadi tantangan untuk pemahaman tauhid lho! Apakah selama ini mereka yang mengaji, ta’lim maupun tarbiyah, sekarang mau dibuktikan penerapan dan pengamalannya?
Yakinlah, bahwa rezeki tidak cuma menjadi seorang PNS. Masih banyak rezeki lain yang sudah Allah siapkan bagi mereka yang mau berusaha dan bertawakkal kepada Allah. Siap mengundurkan diri atau dipecat dari PNS karena bercadar dan celana cingkrang? Siap saja dong…
Jika sampai cadar dan celana cingkrang dilarang pula, maka mesti ada C yang satu lagi dan semestinya juga dilarang. Apakah itu?
Apa C yang Satunya?
Nah, ini dia yang semestinya dilarang. C yang berasal dari Bahasa Inggris, Cigarette. Rokok. Masalah rokok sudah menjadi musuh bersama bagi yang tidak merokok. Bahkan, seorang ustadz pernah mengatakan bahwa di Indonesia ini adalah jannatun naim bagi para perokok dan siksa kubur hidup-hidup bagi yang tidak merokok.
ASN merokok? Oh, sudah banyak! Dan, mereka melakukannya di ruangan kantor, tanpa peduli dengan rekan-rekan kerja. Bahkan di ruangan tertutup yang notabene kurang lancar aliran udaranya. Waktu kerja merokok, waktu rapat merokok juga, setelah makan di kantin juga begitu.
Boleh dicek dengan mata kepala sendiri, yang bercadar dan bercelana cingkrang sangat sedikit yang terlihat merokok! Rata-rata mereka memang bukan perokok. Bagi mereka, merokok itu haram. Masih mending kebanjiran pahala, daripada kebanjiran dosa. Ya nggak?
Alasan PNS merokok biasanya adalah agar lebih bisa berpikir waktu kerja. Itu sebenarnya tanda kelemahan lho! Karena otak manusia yang sedemikian canggih harus tunduk pada sebatang rokok?
Efek asapnya jelas akan menjadi racun bagi orang lain di dalam kantor itu. Kalau sudah begini, pantaslah para perokok itu disebut dengan kaum radikal. Mereka menebarkan teror penyakit paru-paru tingkat tinggi dan berbagai penyakit lainnya.
Kita tentunya masih ingat dengan kematian Humas BNPB. Beliau adalah Sutopo Purwo Nugroho. Meninggal dunia karena kanker paru-paru. Penyebabnya adalah beliau menjadi perokok pasif. Teman-teman kerjanya hampir semuanya perokok.
Sebelum meninggal, beliau nasihatkan kepada kita semua untuk jangan coba-coba merokok. Nasihat yang sangat berharga. Tapi apakah para perokok itu mau mengerti? Buktinya, tulisan “Merokok Membunuhmu” saja dianggap cuma numpang lewat kok!
Mungkinkah ada Sutopo lainnya? Bisa jadi selama rokok masih terus dibiarkan bergentayangan di kantor-kantor pemerintah. Jika demikian halnya, maka bagaimana ASN akan bekerja dengan hasil maksimal, jika selalu dibayangi dengan asap rokok yang siap menusuk jantung dan paru-paru mereka?
Menunggu Pelarangan Merokok Juga
Jika Menteri Agama kita yang mulia punya niat untuk melakukan pelarangan cadar dan celana cingkrang di lingkungan pemerintahan, maka kita mesti tunggu larangan sejenis dari Menteri Kesehatan. Hayo, berani apa tidak? Soalnya ini menyangkut hajat hidup ribuan PNS lainnya yang ingin tetap sehat saat bekerja di kantor lho! Jangan sampai ada Sutopo-Sutopo lagi di masa yang akan datang.