Zaman saya kecil dulu, begini-begini saya pernah kecil juga, sering saya ikut main bola bersama teman-teman satu kampung. Lokasinya bukan di stadium, apalagi akuarium, melainkan di lapangan sebuah kantor dengan jobdesk di bidang kesehatan.
Hampir tiap sore sampai menjelang Maghrib, saya bermain. Biasanya saya berprofesi sebagai kiper. Paman saya pernah mengkritik, “Main bola kok cuma jadi kiper?” Dalam hati, saya diam saja. Namun, sekarang saya tahu maknanya. Kiper itu adalah penjaga gawang. Sementara sekarang saya adalah penjaga hatimu. Halah..
Tidak ada peluit wasit yang menandakan permainan selesai sebab wasitnya pun ikut main! Memang menggelikan sih, tetapi begitulah adanya. Ketika sore mulai gelap dan sayup-sayup hampir adzan Maghrib, maka permainan dihentikan.
Dilanjutkan besok lagi atau lain waktu lagi ketika mereka sudah siap. Sungguh menyenangkan. Sungguh kenangan masa kecil yang indah. Kalau kenangan masa besar saya tidak tahu indah atau tidak?
Pola Permainan
Dari permainan bola itu, saya mengenal istilah “semarangan”. Ini adalah teknik main bola yang sembarang saja. Pokoknya hajar habis itu bola. Tanpa ada pola-pola seperti pertandingan sebenarnya. Asal ada bola, sikat! Asal ada gigi, sikat juga! Lho, ini kok malah mau sikat gigi?
“Semarangan” memang melibatkan lebih dari satu orang. Dari kata itu, saya mengambil makna sebenarnya memang harusnya ada kerjasama. Harus ada koordinasi, meskipun tidak kompleks. Permainan bola pun perlu diatur, yang mana penyerang, yang mana pemain bertahan, dan yang mana penontonnya?
Lapangan yang tidak terlalu luas, siapapun bisa jadi penyerang, siapapun bisa jadi pemain bertahan. Bahkan dalam pertandingan bola besar sekalipun, pemain bertahan semacam bek, boleh kok menyerang. Boleh kok memasukkan bola ke dalam gawang lawan. Yang penting gol, itu intinya. Andaikan kiper bisa maju, dia juga bisa turut andil dalam menciptakan gol. Akan tetapi, kalau dia maju, gawangnya kosong dong. Kecuali, saat dia maju, gawangnya ikut dibawa!
Kerjasama demi satu tujuan saya temukan dalam kegiatan literasi. Menulis bersama. Ada beberapa penulis yang menyumbangkan karyanya untuk dibuat dalam satu buku. Itu namanya antologi. Sedangkan kalau Anto yang suka bolos pelajaran Biologi, saya tidak tahu jadi apa dia sekarang?
Sebuah buku dengan judul “Kisahku Bermulai: Sebuah Perjalanan Penulis Antologi” saya dapat dari hadiah dari grup Whatsapp Cakrawala Blogger Guru Nasional yang disingkat Lagerunal.
Sekilas, aneh juga bikin singkatan, kok dari belakang? Ah, yang penting jadi singkatan dan bisa dibaca dengan enak. Sebab, yang namanya singkatan itu memang singkat, sih! Dan, menurut penyair terkenal itu, apalah arti sebuah nama? Artinya ya buat dipanggil, lah. Kok apakah arti sebuah nama?
Buku ini diterbitkan oleh CV. Dandelion Publisher yang punya alamat di Bogor, Jawa Barat. Cetakan pertamanya pada bulan Maret 2022. Tebal hanya 72 halaman. Cukup tipis.
Mempunyai kaver atau gambar depan beberapa buku catatan, pensil, kopi, dan laptop. Saya cuma saran saja, hati-hati, jangan sampai kopinya menumpahi laptop ya! Bagi yang memiliki buku ini, untuk hati-hati dalam meletakkan bukunya! Jangan sampai gambar kopinya jadi miring, terus tumpah.
Ada 13 orang penulis. Masing-masing jelas mempunyai tulisan yang berbeda. Asyiknya baca antologi seperti ini adalah kita bisa meramu pemikiran dari 13 orang tersebut. Kalau buku solo, ya, cuma satu orang saja. Dan, saya temukan para penulisnya itu tidak ada yang dari Solo. Lho, apa hubungannya?
Baik, kita mulai menganalisis satu persatu. Dimulai dari sosok bernama Auliya Nurrahman dengan judul “Mengeksplor Diri dengan Antologi”. Auliya memulai dengan kalimat dari dosennya, “Orang yang bisa menulis, pasti suka membaca” (halaman 1).
Kalimat tersebut memang terasa benar. Sebab, untuk modal menulis itu pastilah dari membaca. Auliya bisa hafal ucapan dosennya, sementara saya sendiri, tidak tahu apalagi hafal kalimat yang diucapkan oleh dosen yang tidak mengajar saya.
Penulis ini memulai menulisnya sejak duduk di bangku SMA. Mengikuti lomba-lomba menulis. Namun, sempat berhenti lama sampai kuliah S2. Baru lanjut lagi selama pandemi karena memang di rumah saja. Nah, berarti ada hikmahnya juga ‘kan ada pandemi?
Karier menulisnya berkembang, dari blogger hingga menjadi PJ tetap di sebuah penerbitan. Dari yang awalnya menulis buku lewat antologi sampai keinginan untuk memiliki buku solo. Penulis ini memberikan 6 tips bagi yang ingin memulai debut menjadi penulis antologi. Tips yang tentu saja bermanfaat. Sedangkan yang jadi penyakit itu bukan tips, melainkan tipes. Beda jauh.
Profil penulis yang akrab dipanggil Liya ini ada di bagian akhir tulisannya. Buku ini memang langsung mengungkapkan profil masing-masing penulis setelah tulisannya. Itu memang bagus, dan harus begitu. Tidak lucu bukan kalau ada buku antologi, tulisannya selesai, eh, profil penulisnya baru diterbitkan sepuluh tahun kemudian?
Tips Menulis
Oleh karena buku antologi ini terdiri dari cukup banyak penulis, maka ide yang ditampilkan tentu saja berbeda-beda. Meskipun ada ide, tetapi yang ikut tidak ada yang namanya Edi.
Seperti yang diungkapkan oleh Raissahn. Jangan pernah mendengarkan komentar buruk orang lain tentang tulisan kamu, karena pada dasarnya setiap tulisan ada seninya masing-masing (halaman 8).
Itu tentu saja nasihat yang sangat menarik. Jangan kita pusing dengan omongan orang lain tentang tulisan kita! Belum tentu kok mereka bisa menulis. Kalau cuma nyinyir sih, semua orang juga bisa. Jangan sampai setelah nyinyir, malah muncul banjir. Akhirnya air mata ikut mengalir. Lah, ini kasihan banget.
Nasihat atau motivasi juga datang dari Drs. Dg. Mapata, MM yang lahir di Bira pada tahun 1966, wah, saya belum lahir waktu itu, jadi belum masuk sekolah juga. Beliau mempunyai moto “Manfaatkan waktu untuk berkarya, demi anak cucu kelak” (halaman 18). Beliau ini termasuk hebat karena beberapa keadaan menulis pernah dilewati. Menjadi penulis tunggal, dwitunggal, tritunggal, dan antologi. Lengkap sekali bukan? Makanya, pengalaman dan tulisan beliau cukup bagus untuk dicermati.
Bagaimana cara agar menulis antologi bisa lancar? Jawabannya ada di tulisan Kamila, S.Pd.I. Agar dalam menulis antologiku bisa lancar, aku menulis pada saat waktu luang yang bebas dan di tempat yang nyaman (halaman 23).
Nah, keadaan seperti itu akan sangat mendukung munculnya ide-ide dan bahan menulis. Makanya, ciptakan waktu dan ruangan yang enak untuk menulis. Bisa di manapun di rumah kita. Asal jangan di atas genteng. Walaupun bisa langsung menatap langit, tetapi tidak disarankan untuk tempat menulis, hehe..
Keuntungan Menulis Antologi
Menulis secara keroyokan macam antologi begitu, apa sih untungnya? Kalau untuk pertanyaan tersebut, jawabannya ditulis oleh Asri Ati. Dengan menulis buku antologi, aku mendapat teman dan komunitas baru, pengalaman baru, dan juga energi yang baru (halaman 27). Tentu saja serba baru bagi yang belum pernah menjadi penulis antologi.
Memang, untuk memulai segala sesuatu itu berat. Ibaratnya, mendorong mobil. Memulai mendorong mobil akan sangat berat. Apalagi jika mobilnya itu masih direm tangan, mobilnya orang, dan tidak sedang dalam kondisi mogok. Ya, ngapain didorong juga gitu lho?
Apakah menulis antologi selalu menyenangkan? Tidak juga sih. Ini yang dikatakan oleh R. Thania Elnizar. Namun, justru sering gagal seleksi hanya karena salah tema, stuck tulisan, lewat dari deadline, dan banyak hal lainnya (halaman 32).
Waw, jadi segala sesuatu itu memang ada kelebihan dan kekurangannya! Meskipun ada kondisi yang dirasa kurang bagus dalam menulis antologi, nyatanya tetap menyenangkan kok, kata penulis yang satu ini.
Sangat Beragam
Buku antologi menyajikan tulisan yang bisa saling melengkapi. Sesuai dengan tema, dari berbagai sisi bisa diulas, dikupas, sampai tuntas, ditambah jadi naik kelas. Seperti penulis yang ini, saya belajar banyak. Sebab, buku antologi yang sudah dihasilkan mencapai 46 buku! Masya Allah. Itu yang tercantum dalam list pada halaman 62-64.
Profil pada bagian ini adalah dari E. Hasanah. Lebih lengkap gelarnya adalah Dra. E. Hasanah, M.Pd yang lahir di Sukabumi pada tahun 1967. Kalau ibu yang satu ini di Sukabumi, kalau saya sih Sukaistri. Namun, itu bukan nama kampung, melainkan perkataan saya sendiri, hehe..
Ada lima manfaat menulis antologi, sekaligus hampir menjadi penutup dalam tulisan saya ini. Pertama, sarana untuk mengasah kemampuan dan skill menulis. Kedua, menanamkan rasa percaya diri. Ketiga, bertambah sahabat. Keempat, berlatih untuk bisa menjadi penulis solo. Dan, yang kelima adalah melatih kesabaran, konsisten, menghargai orang lain, tanggung jawab, toleransi, dan sikap-sikap sosial lainnya.
Begitu juga dengan profil dari Nilam Fadmaulidha yang sudah lebih banyak lagi buku, bahkan produktif di tahun 2021 dan 2022. Beliau adalah seorang periset pada bidang mikrobiologi di Pusat Riset Biologi, Badan Riset Nasional (BRIN), Cibinong, Bogor, Jawa Barat.
Mengulik tulisan dari para penulis produktif, membuat kita ingin jadi produktif juga. Untuk bisa menuju ke sana, meski menghilangkan penyakit. Misalnya mager dan suka rebahan. Harus sabar dan konsisten dalam menulis buku.
Tidak semua penulis buku berjudul Kisahku Bermulai ini disebutkan dan ditulis rangkumannya di sini. Namun, yang jelas bagi yang berminat, silakan mencari saja buku ini.
Pokoknya, asyik dibaca, lah. Plus ada juga pembatas buku. Selain dipakai untuk membatasi buku, juga kalau baca buku ini, jangan terlewat batas. Misalnya, jika sudah tengah malam dan mengantuk, tidur saja, istirahat saja. Jangan begadang. Karena begadang malam katanya banyak efek buruknya, makanya lebih bagus begadang itu siang saja!
Lengkap sekali ya pak. Resensinya.
Terima kasih Bu atas komentarnya.
Resensi yang lengkap ada bebeeapa ulasan pesan yang ada di setisp penukis. di tambah penulisan yang renyah. Sangat asik bacanya.. Trimksih Pak Rizky..
Sama-sama, Bu, semoga bermanfaat
Keren….ulasan resensi bukunya sangat menginspirasi sekali. Salam sehat dan sukses
Salam sehat dan sukses juga Bu..
Ahay
Terdampar di blog ini membuat saya ter senyum
Asyik aja bak ngobrol dengan penulisnya
Bravo ya..sudah menginspirasi diriku
Iya nih, Bu, jarang-jarang mampir kemari, hehe..
Wah tulisannya keren ini. Penulis prosfektif. Ayo semangattt
Makasih banyak Bu…
Buku yang ditulis para senior rupanya. Keren. Mereka terus prouktif.
Yap, mereka sudah banyak pengalaman, memang luar biasa!