Alkisah, wuih, pakai alkisah, ada seorang TikToker yang hobi sekali membuat video. Sayangnya, video yang diunggahnya sama sekali tidak bermanfaat. Justru mengundang hujatan orang.
Salah satu videonya adalah dia sedang nongkrong di mall mewah bersama teman-teman satu gengnya. Kira-kira ucapannya begini,
“Orang kaya itu nongkrongnya di mall mevah!”
Dia sebut mall mewah dengan mall mevah.
“Kalau kalian nongkrongnya di mana? Di pinggiran ya?” Sambil nyengir mengejek.
Video lain, dia menampakkan simbol kekayaan lagi. Dia menggunakan i-Phone yang kameranya tiga itu.
Menyorot di depan cermin besar. Sambil mengejek yang gawainya bukan i-Phone.
Dari dua video itu saja, warganet jelas meradang. Itu jelas-jelas penghinaan kepada warganet yang berada dalam taraf ekonomi menengah, bahkan cenderung ke bawah.
Gawai i-Phone disimbolkan sebagai gawainya orang kaya. Dan cuma orang kaya yang bisa memilikinya. Hem, apakah betul?
Lalu, nongkrong di mall mewah. Itu juga katanya dianggap orang kaya.
Padahal, belum tentu juga. Kalau cuma masuk ke mall mewah, orang miskin juga bisa.
Asal cuma masuk, beda kalau beli barang-barang di dalamnya.
Memang Miris
TikToker tersebut sampai diundang ke televisi. Yah, tujuannya sih agar stasiun televisi menampilkan yang sedang viral.
Tetap saja dibully, dihujat. Mau di media online maupun seperti televisi tersebut, orang itu tetap dihujat warganet. Disindir, bahkan dihina dengan cukup kasar.
Baca Juga: Lebih Jelas yang Mana, Cermin Kamar Tidurmu atau Anak Cerminan Orang Tua?
Anehnya, dia terasa sangat menikmati keterkenalan itu. Dia enjoy saja, ketika semua orang membicarakannya, meskipun yang dibicarakan adalah yang negatif-negatif.
Mungkin dia akan berkata, “Ah, persetan! Yang penting gue terkenal sama netizen.”
Sekilas, bagi orang yang pertama melihat, “Wuih, cantik ini cewek!”
Namun, berjalannya waktu, apalagi melihat video-videonya, orang baru tersebut akan menarik kembali ucapannya. “Cuih, cantik-cantik kok gitu!”
Mencelanya sih terserah, tapi “cuihnya” itu diarahkan ke mana? Jangan-jangan malah kena muka orang lagi! Hehe…
Konteks yang Berbeda
Namanya konteks, pastilah berbeda dengan yang dipakai di kuku itu.
Halah, kalau itu namanya kuteks. Kita akan mencoba mengejawantahkan kecantikan, tetapi dari sudut pandang yang lebih positif.
Masih banyak kok orang cantik yang berprestasi. Menghasilkan karya-karya yang cukup positif. Salah satu yang tahu adalah Dewi Lestari.
Novel-novelnya sudah lumayan banyak. Tebal-tebal pula. Pastilah butuh napas yang panjang untuk menulis karya kompleks seperti itu.
Dalam kesempatan kali ini, kita tidak akan bahas novel. Apalagi Novel Baswedan.
Orang yang akan kita ulas tanpa rasa malas adalah seorang guru yang kata teman-teman guru, cantik. Meski yang harus saya katakan cantik secara asli adalah istri saya sendiri. Hehe..
Seperti biasa kita lihat bannernya dulu ya:
Sekilas Profil
Bagaimana dengan profil narasumber dalam pertemuan ke-16 pelatihan belajar menulis bersama Om Jay dan PB PGRI ini?
Namanya adalah Ditta Widya Utami, S.Pd. Mata pelajaran yang diampunya adalah IPA. Mengajar di SMPN 1 Cipeundeuy, Subang, Jawa Barat.
Masih muda, karena lahir di Subang pada tanggal 23 Mei 1990. Suami bernama Muhammad Kholil, S.Pd.I. Anak bernama Muhammad Fatih Musyfiq.
Ditta aktif di MGMP dan sudah menghasilkan karya-karya seperti:
- Jejak Langkah Guru Subang (2019) – kumpulan best practice, MGMP IPA Subang
- Guru di Ladang Ilmu (2019) – kumpulan cerpen karya guru, Komunitas Pengajar Penulis Jawa Barat (KPPJB)
- Sepenggal Kisah di Ruang Cipta Pentigraf (2020) – KPPJB
- Dari Mata Air Hingga Muara (2020) – Literasi Subang Bihari dan Berwibawa (Lisangbihwa)
- Pelangi Jiwa (2020) – kumpulan kisah inspiratif, KPPJB
- Pena Digital Guru Milenial (2020) – kisah para guru blogger, PGRI
- Menyongsong Era Baru Pendidikan (2020) – bersama Prof. Eko Indrajit
- Pola Pembelajaran yang Efektif dari Rumah (2020) – Hasil Lomba Blog Hardiknas (PGRI)
Sudah cukup banyak ya? Lumayan juga untuk seorang guru yang berlatar belakang bukan bahasa, melainkan eksakta.
Lalu, apa saja penyampaian beliau dalam pelatihan menulis ini?
Memotivasi Untuk Menulis
Sebagai narasumber yang berpengalaman dalam menulis buku, Ditta berbagi tips-tips, di antaranya:
- Melalui kelas menulis
- Dengan komunitas menulis
- Berpartisipasi dalam lomba menulis
- Menulis yang terjadi di sekitar kita
- Menulis hal-hal yang memang kita suka
Baik, agar lebih berbeda, maka akan saya analisis sendiri.
1. Kelas Menulis
Namanya saja sebuah ruang kelas, pastilah ada guru dan murid-muridnya. Guru yang ada biasanya lebih berpengalaman daripada muridnya.
Bagaimana jika murid lebih pintar daripada gurunya? Wah, itu bukanlah sebuah aib!
Murid yang lebih pandai daripada guru berarti sebenarnya guru tersebut berhasil mendidik murid.
Kita bisa melihat dalam tradisi pesantren. Guru disebut kyai, sedangkan murid disebut santri.
Baca Juga: Muncul di Tengah Pandemi Corona: Bisnis Jasa Sewa Laptop
Ada yang menarik ketika saya membaca salah satu tulisan di media Mojok. Mengapa adanya hari santri, kok bukan hari kyai?
Pada dasarnya, setiap kyai yang benar itu selalu merunduk. Merasa kurang dengan ilmunya. Seperti filosofi padi bukan? Makin berisi makin merunduk.
Meskipun yang tadinya santri sudah jadi kyai besar, sedangkan gurunya sampai sekarang jadi kyai yang begitu-begitu saja, tetap akan dihormati.
Makanya, tidak ada namanya hari kyai, cuma hari santri. Sebab, kyai senior pun masih tetap mengaku, dia tetap seorang santri.
Itu juga terlihat dalam dunia Islam di luar Indonesia. Empat imam madzhab. Ada Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad.
Contohnya, dua terakhir ini. Imam Ahmad adalah ahli hadits. Sedangkan Imam Syaf’i lebih fokus ke fiqih.
Rupanya, Imam Syafi’i tidak segan-segan berguru ke Imam Ahmad. Dan, adab Imam Ahmad kepada Imam Syaf’i juga luar biasa!
Konon, dalam banyak sujudnya, Imam Ahmad mendoakan terus Imam Syaf’i. Sungguh adab yang mulia terhadap guru ‘kan?
Mungkin kita juga akan didoakan seperti itu oleh murid-murid kita, asal tentu menjadi guru yang terbaik dulu.
2. Komunitas Menulis
Mungkin kamu pernah melihat ada rombongan motor besar Harley Davidson di jalan-jalan. Bagaimana rasanya melihat mereka?
Ada kesan arogan pada diri mereka. Buktinya, mereka bisa menguasai bahu jalan kok. Apalagi ditambah dengan pengawalan dari aparat kepolisian.
Bahkan, lampu merah saja juga dilanggar. Pokoknya, halang rintang, mereka lawan juga.
Begitulah yang terjadi dengan adanya komunitas. Ada rasa powerfull. Ada rasa harga diri yang tinggi sekali. Bahkan, ada kesombongan yang bertubi-tubi.
Kalau itu sih berarti komunitas yang jelek. Buat apa bikin komunitas toh akhirnya merugikan orang banyak?
Komunitas yang positif itu contohnya adalah komunitas penulis. Seperti contohnya adalah komunitas menulis bersama Om Jay dan PB PGRI ini.
Adanya komunitas seperti itu membuat vibrasi antaranggotanya makin kencang. Apalagi jika sama-sama minat pada dunia menulis.
Manusia itu berbeda dengan magnet. Kalau magnet, kutub yang sama akan tolak-menolak, sedangkan jika manusia, justru akan tarik-menarik.
Ikut dalam suatu komunitas menulis, kita akan mendapatkan umpan balik alias feed back dari tulisan-tulisan kita.
Boleh jadi, berupa umpan balik yang positif, boleh juga yang negatif.
3. Lomba Menulis
Memang, mengikuti lomba, hasilnya adalah dua, kalau bukan menang, ya, kalah. Wajar sebagai manusia, ketika menang, dia akan senang, saat kalah, pasti sedih.
Sebenarnya, esensi dari lomba, jangan cuma mau menang dan tidak mau kalah. Kalau itu bukan lomba menulis, melainkan Pilkada. Hehe…
Ikut dalam sebuah lomba menulis sejatinya kita menyemarakkan suasana. Ya, kita ikut hura-hura saja dengan para peserta.
Meskipun tulisan kita masih amburadul, boleh saja kita ikut. Walaupun nanti gagal, toh kita bisa dapat pengalaman ikut lomba menulis.
Dan, timbul keberanian untuk kita mengadu nyali dengan peserta lain. Memangnya adu nyali cuma berada di kuburan saja? Itu namanya uji nyali, terus ketemu dengan kuntilanak, pocong, genderuwo dan sebagainya.
Makin banyak lomba kita ikuti, maka kemampuan kita akan masih terasah. Sebab, setiap lomba pastilah berbeda. Tema, kriteria, bentuk tulisan, persyaratan dan tentu saja jumlah hadiah.
4. Menulis di Sekitar Kita
Mana ada sih di dunia ini orang yang hidupnya sendiri? Maksudnya, di sini adalah benar-benar sendiri tanpa perlu melibatkan orang lain. Kalau sendiri yang artinya jomblo, jelas masih banyak.
Ribuan bahkan jutaan kejadian bisa kita alami setiap hari. Dari bangun tidur, sampai tidur lagi, bahkan tidur itu sendiri.
Sayangnya, kejadian tersebut lewat begitu saja. Dilupakan dengan sebenar-benarnya lupa. Padahal, bisa jadi ada ilmu dan hikmah di situ.
Baca Juga: Cara Buat CV Jaman Now [5 Website Ini Membantu Agar CV Kamu Jadi Makin Menarik, Ciamik, Asyik dan Langsung Dilirik]
Beda halnya dengan seorang penulis. Dia mesti cermat dan teliti memperhatikan setiap kejadian, apalagi yang menyangkut dirinya.
Setiap hari bertabur ide, inspirasi dan bahan untuk menulis. Penulis yang berhasil pastilah yang bisa mengolah ide, inspirasi dan bahan tersebut menjadi tulisan enak disantap.
Untuk menjadi penulis semacam itu, pastilah tidak mudah. Butuh latihan dan semangat yang panjang.
Selain itu, mesti lebih mengetahui tentang detail. Misalnya: ketemu orang baru. Apa cuma tahu namanya? Coba dicermati, bisa jadi bentuk fisik, latar belakang, suku, gaya bicara, bahasa tubuh dan lain sebagainya.
Banyak sekali hal di sekitar kita. Nah, kalau begitu adanya, rasanya aneh ada seorang penulis merasa mentok dalam menulis. Apalagi dengan mengatakan, menulis apa hari ini?
Hem, mungkin dia memang perlu diruqyah!
5. Menulis yang Kita Sukai
Pada poin ini, lebih ke arah hobi. Jelas, hobi adalah sesuatu yang kita sukai. Kita melakukannya dengan sukarela. Biasanya, lama melakukannya pun tidak.
Apa yang kamu sukai? Kecantikan? Memasak? Otomotif? Bangunan atau arsitektur? Semua hal tersebut bisa dituliskan.
Ini adalah teori yang sangat sederhana dalam menulis. Tidak perlu muluk-muluk mau menulis tentang politik, hubungan internasional, ekonomi dan lainnya yang ribet-ribet itu.
Mungkin dimulai dengan betapa lucunya anak kamu waktu bermain-main di rumah. Atau tingkah polah anak yang sedang belajar berjalan.
Atau suami yang sangat penyayang kita sedang hamil. Cukup mudah bukan?
Kesimpulan
Kalau motivasi untuk menulis sudah kita dapatkan, maka selanjutnya adalah mempercantik bahasa. Untuk tahap ini, juga tidak mudah, karena kita butuh belajar.
Ya, belajar membuat kalimat yang baik. Belajar membuat paragraf yang sederhana, tetapi maknanya dalam.
Bisa juga belajar menjadi paragraf-paragraf menjadi satu tulisan runtut dan terkait satu sama lain. Namun, intinya adalah konsisten dan persisten. Apakah kita akan kuat?
Dari resume ini, kita belajar dari guru yang kata teman-teman, cantik, Ditta Widya Utami. Tulisan yang cantik bisa terpancar dari wajah yang sama pula.
Bagaimana dengan yang laki-laki seperti saya juga? Apakah bisa tulisan yang laki-laki itu juga dipercantik?
Kalau untuk itu, lebih bagus memperganteng tulisan. Ya, tidak hanya orientasi untuk mempercantik bahasa, tetapi juga memperganteng bahasa. Begitulah.
Baca Juga: Hari Senin? Kok Banyak yang Tidak Ingin?
Wow, blognya keren abisss … 👍🏻👍🏻👍🏻 Resumenya diracik kembali sehingga lebih segar dan berbobot dari penyampaian aslinya. Hehe … Terima kasih Pak. Saya banyak belajar dari resume ini 🙏🏻
Alhamdulillah, makasih Bu, sudah berkunjung ke blog saya. 😁
Sampon Kulo baca pak yai,,,sae banget wawartone,,Mugi sukses
Alhamdulillah, matur nuwun sanget, Pak Guru…