Hari Pahlawan sudah lewat. Pada tanggal 10 November kemarin, saya mengikutinya di kantor. Lewat sebuah upacara virtual.
Inilah yang menjadi hikmah dari pandemi covid-19 sebenarnya. Upacara pun bisa dilakukan secara online. Saya dan teman-teman kantor duduk di lantai dua atau di aula, menyaksikan tayangan upacara dari Taman Makan Pahlawan, Kalibata, Jakarta Selatan. Mengikuti upacara semacam itu tidak panas dan santai. Beda dengan upacara di luar, kita mesti dijemur dan berdiri pula.
Pernah juga ada perintah dari pusat untuk upacara bendera dari rumah masing-masing. Ini sebenarnya juga terlihat lucu kalau ada orang luar yang melihat. Saya memakai baju KORPRI dengan songkok hitam kebanggaan saya. Ukuran 10. Cukup besar memang ukuran kepala saya. Apakah karena saya ini besar kepala? Maksudnya, sombong begitu? Haha…
Saya ikut upacara tersebut di dalam kamar. Membuka laptop yang diletakkan di atas meja kerja. Begitu ada momen pengibaran bendera yang diikuti juga oleh Presiden Jokowi, saya diharuskan menghormat.
Padahal, sinyal internet sedang ada gangguan. Jadi layar tidak bisa menampilkan dengan jelas. Gelap. Hitam. Namun, karena harus ada dokumentasi, terpaksa saya menghormat saja ke laptop. Saya difotokan oleh anak saya yang sulung. Beres. Sudah sah menjadi dokumentasi kantor.
Ada juga teman saya yang mengirimkan dokumentasi. Ini juga lucu karena difoto seluruh badan. Terlihat jelas dia tidak pakai alas kaki. Padahal semestinya pakai sepatu, lah. Atau jika tidak mau terlihat tanpa sepatu, difoto setengah badan saja. Unik juga, foto-foto tersebut menjadi bahan tertawa bersama di grup WA kantor.
Hakikat Upacara
Momen Hari Pahlawan dengan tema Pahlawanku Inspirasiku mengharuskan kita untuk upacara. Nah, ada sebagian orang yang mempertanyakan, kenapa sih harus upacara terus? Itu ‘kan cuma teoritis dan seremonial belaka.
Pernyataan yang cukup mengejutkan datang dari Sujiwo Tejo, seorang penulis dan budayawan terkemuka. Katanya, Pancasila itu ada atau tidak sih? Kalau Pancasila ada, mestinya barang-barang tidak mahal, rakyat bisa makan dengan mudah, kondisi terjamin dan aman, semacam itulah. Kenyataannya sekarang? Silakan jawab sendiri ya!
Selain itu, ada yang berpandangan bahwa rakyat disuruh untuk mengikuti upacara dengan nilai-nilai perjuangan di dalamnya yang dituangkan, ternyata para pemimpin dan elit politik kita di sana yang justru melanggarnya sendiri. Kita yang diajarkan untuk setia kepada Pancasila, tetapi merekalah yang korupsi. Merekalah yang mengacak-ngacak negeri ini.
Persepsi semacam itu banyak diwujudkan dalam aneka jenis. Ada yang membuatnya dalam bentuk tulisan, ada juga dalam video. Mengkritik pemerintah, mengatakan pemerintah begini dan begitu. Apakah bisa dibenarkan?
Dalam kaidah agama Islam yang benar, mengkritik pemerintah bisa dan boleh-boleh saja, bahkan dapat menjadi kewajiban dari rakyat. Namun, caranya bagaimana dulu? Kalau mengkritik di depan umum, menjelek-jelekkan, menginjak-nginjak wibawa pemerintah, jelas tidak dibenarkan toh? Jangankan pemerintah, kita saja yang orang biasa juga tidak mau direndahkan di depan orang lain bukan?
Cara yang terbaik adalah bicara empat mata dengan pemerintah. Menyampaikan kritik dan solusi dari kita kepadanya. Bicara empat mata semacam itu demi menghindari gangguan dari orang lain.
Terus, bicara empat mata ‘kan harus di istana negara, bagaimana cara masuknya? Kan tidak boleh orang sembarangan. Oh, itu bisa disiasati dengan membuat media khusus. Pemerintah dapat membuat kanal lewat media internet.
Seperti dulu zaman SBY ada channel khusus dengan SMS. Nah, di situlah rakyat boleh mengungkapkan kekesalannya kalau perlu. Apakah ditanggapi? Mungkin saja, mungkin juga tidak. Ah, yang penting sudah menunaikan kewajiban mengingatkan pemerintah.
Tentang Pahlawan
Setelah 520 huruf saya tulis, tibalah membahas judul dari tulisan ini. Apakah yang harus ada dalam diri seorang pahlawan? Kalau menurut pembaca sendiri, apa hayo? Apakah pahlawan itu harus mengangkat senjata? Harus memakai pakaian perang? Harus gugur di medan pertempuran? Apakah cuma itu definisi pahlawan?
Atau pahlawan yang menumpas kejahatan? Yang memakai topeng demi menutupi identitas asli? Yang melawan monster? Waduh, pahlawan yang satu ini namanya pahlawan bertopeng! Harus berubah dulu agar menjadi wujud yang baru. Itu cocoknya khusus pahlawan anak-anak. Eh, tapi ada juga sih orang dewasa yang suka dengan pahlawan semacam itu.
Menurut saya, pahlawan memang ada syaratnya. Apakah itu? Pahlawan haruslah memiliki lawan. Hah, haruskah begitu?
Kita lihat saja dalam sejarah. Pahlawan negeri ini punya musuh penjajah Belanda dan Jepang. Pahlawan bertopeng punya lawan monster atau orang jahat. Apalagi? Pokoknya, pahlawan akan semakin harum namanya ketika dia bisa mengalahkan orang lain, atau diri sendiri juga boleh. Tentunya, mengalahkan di sini harus dalam konteks positif ya?
Mengapa setiap pahlawan haruslah punya lawan? Ya, hal itu karena asal katanya, pahlawan: pah dan lawan. Bayangkan bila pahlawan tidak punya lawan, maka nantinya akan jadi “pah” saja.
Kalau mau jadi pahlawan, tetapi tidak mau punya lawan, maka jadilah pahkawan! Nah, itu baru benar! Ya ‘kan?
Hahaha.. selalu suka baca postingan Mas Rizky yg bikin tertawa sendiri. Ternyata inginjd pahlawan harus punya lawan, ampyuuun ah. Mau jd pahkawan aja.😁
Silakan kalau mau jadi pahkawan, Ambu, haha..
Benar jiga ya harus ada lawan. nah sekarang lawan kita banyak, lawan segala hal budaya yang tak sesuai dengan jati diri bangsa, lawan segala kemalasan, bangkit dan jadilah pahlawan yang siap berjuang tuntaskan kebobrokan moral dan kemiskinan. Lawan kemalasan dengan terus belajar dan belajar. Semangat kita pasti bisa .. bismilah ..
Mantap! Panjang komentarnya, Bu.
terimakasih pahlawanku
Kembali kasih..
Wah ternyata harus ada lawan ya untuk jadi pahlawan. Tapi pah saja sudah menjadi panggilan menyenangkan he he.
Pah dan mah…
aduuuh…banyak kawan saja ya Pak wkwkwk
Sipp, Bu..
Wah jadi pahlawan…..gelarnya apa nantinya ya ? Bikin senyum.
Yang jelas bukan gelar tinju profesional, haha…
Biarlah saya tidak jadi pahlawan dari padaharus mencari lawan. Tapi, lawan kadang tidak dicari bisa muncul sendiri. Wah, tambah peluang jadi pahlawan. Terima kasih, lawan!
Ini komentarnya sedikit membingungkan.