Mendidik Versi Kurikulum Para Binatang

Mendidik Versi Kurikulum Para Binatang

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Bicara tentang kurikulum, apa sih yang menarik? Bagaimana kalau dikaitkan dengan kehidupan para binatang? Wah, seperti apa itu? Nah, kalau Anda penasaran, silakan dibaca artikel berikut ini ya. 

Alkisah, di sebuah hutan belantara berdirilah sekolah para binatang. Kurikulum sekolah tersebut mewajibkan setiap muridnya untuk lulus semua pelajaran. Ada lima mata pelajaran, yaitu: terbang, berenang, memanjat, berlari dan menyelam. Banyak murid yang bersekolah di situ, antara lain: elang, tupai, bebek, rusa dan katak. Masing-masing hewan unggul dengan kemampuannya. Elang pandai terbang, bebek pandai berenang, rusa pintar berlari dan seterusnya.

Namun, karena kurikulum sekolah tersebut mewajibkan semua muridnya lulus dalam semua pelajaran, maka mulailah elang belajar memanjat dan berlari. Tupai pun berkali-kali jatuh dari dahan yang tinggi karena belajar terbang. Bebek seringkali ditertawakan meski sudah bisa berlari dan sedikit terbang. Namun, bebek sudah mulai tampak putus asa ketika mengikuti pelajaran memanjat. Semua murid berusaha dengan susah payah, tetapi belum juga menunjukkan hasil yang lebih baik. Tidak ada murid yang menguasai lima mata pelajaran tersebut dengan sempurna.

Kini, lama kelamaan, tupai sudah mulai lupa cara memanjat, bebek sudah tidak bisa berenang dengan baik karena sebelah kakinya patah dan sirip kakinya robek karena terlalu sering belajar memanjat. Tupai hampir mati karena mau kehabisan napas ketika belajar berenang. Nah, meskipun kisah tersebut adalah fiktif adanya, bagaimana menurut Anda?

Pendidikan Kompleks

Seringkali, kita temukan ada orang tua yang sangat menekankan anak-anaknya untuk pintar dalam pelajaran tertentu. Biasanya, pelajaran tersebut adalah Matematika dan IPA. Bahkan ada orang tua yang sangat marah tatkala melihat ada anaknya mendapatkan nilai jelek di pelajaran-pelajaran tersebut. Meskipun si anak sudah berusaha dengan keras untuk mendapatkan nilai bagus, nyatanya toh tetap tidak memuaskan. Mengapa demikian?

Beberapa tahun yang lalu – mungkin saat ini masih – persepsi tentang jurusan eksakta lebih tinggi daripada noneksakta. Orang tua akan merasa bangga saat anaknya berada di jurusan eksakta tersebut. Biasanya, ini saat SMA. Persepsi yang timpang ini bisa menjadikan jurusan noneksakta seperti jurusan kelas dua. Murid-murid yang ada di dalamnya seperti dicap gagal masuk jurusan eksakta. Pada akhirnya, murid-murid yang belajar di jurusan noneksakta seperti mendapatkan beban sangat berat. Tekanan dari orang tua bisa jadi lebih ditingkatkan akibat “kesalahan” si anak tidak bisa masuk jurusan eksakta.

Memang, dalam pilihan jurusan eksakta, ada pilihan yang lebih banyak daripada noneksakta, terutama kaitannya dengan di perguruan tinggi. Bahkan, dalam sistem ujian penerimaan atau seleksi mahasiswa, peserta dari jurusan eksakta bisa memilih jurusan noneksakta. Sebaliknya, cukup sulit karena harus belajar rumus-rumus jurusan eksakta bagi peserta noneksakta. Jadi, jurusan eksakta seolah-olah lebih bergengsi daripada noneksakta. Padahal, dalam kenyataannya, tidak selalu demikian.

Kita juga melihat bahwa banyak pelajaran yang dimasukkan ke dalam pikiran para murid. Susahnya, semua diharuskan untuk mendapatkan nilai bagus. Sebenarnya, itu termasuk tujuan yang bagus kalau nilai semua pelajaran bisa bagus. Namun, pasti jumlah murid seperti itu tidak banyak. Selalu saja ada mata pelajaran yang lebih menonjol. Seperti dalam kisah tersebut di atas, tidak ada hewan yang memiliki semua kemampuan dan kecerdasan. Kalau dipaksakan, maka yang terjadi adalah kesulitan sampai kesengsaraan.

Seorang profesor pendidikan yang mengabdikan diri di Universitas Harvard, Amerika Serikat, bernama Howard Gardner pernah mengemukakan bahwa kecerdasan manusia juga harus dinilai berdasarkan: kemampuan untuk menyelesaikan masalah yang terjadi dalam hidup, kemampuan menemukan persoalan-persoalan baru untuk diselesaikan atau dicari solusinya dan kemampuan untuk menciptakan sesuatu dan memberikan penghargaan dalam budaya seseorang. Oleh karena itu, Gardner mengungkapkan mengenai kecerdasan majemuk (multiple intelegences). Penjabarannya adalah kecerdasan linguistik (bahasa), kecerdasan logika-matematika, kecerdasan visual-spasial, kecerdasan gerak tubuh (kinestetik), kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalis. Belakangan Gardner menambahkan satu kecerdasan tambahan, yaitu kecerdasan spiritual.

Anak yang memiliki kecerdasan linguistik biasanya suka dengan pelajaran bahasa, hobi membaca, suka menulis, hobi bermain kata, pandai berbicara dan mempunyai bakat untuk menjadi penulis maupun pembicara hebat. Kecerdasan logika matematika dipunyai oleh murid yang menggemari pelajaran eksakta. Kecerdasan visual-spasial biasa ada pada anak yang hobi menggambar maupun seni grafis. Anak yang hobi berolahraga ada kecenderungan memiliki kecerdasan gerak tubuh (kinestetik. Kecerdasan musikal tentu saja dipunyai pada anak yang memiliki bakat musik. Kecerdasan interpersonal menyangkut kecerdasan berhubungan atau bersosialisasi dengan orang lain. Sebaliknya, kecerdasan intrapersonal mengacu kepada sikap dan perasaan terhadap diri sendiri. Anak-anak yang hobi dengan alam atau lingkungan sekitar dapat dikatakan memiliki kecerdasan naturalis. Sementara anak yang intens dengan agama memiliki kecerdasan spiritual.

Kecerdasan Orang Tua

Dalam tulisan ini, kecerdasan majemuk tidak hanya menyangkut kepada anak atau murid semata, tetapi juga kepada guru dan orang tua. Kalau guru memang ada sekolah atau pendidikannya, tetapi menjadi orang tua tidak ada sekolah khususnya. Inilah yang seringkali menjadi keluhan atau masalah bagi para orang tua, terutama bagi orang yang baru menjadi orang tua. Banyak orang tua yang kurang belajar tentang pendidikan anak. Apalagi yang disayangkan, mereka hanya mencontoh dari orang tuanya secara turun-temurun. Sementara, perkembangan pendidikan anak semakin pesat. Tidak mungkin pendidikan anak zaman dahulu cocok dengan zaman sekarang. Dari sinilah, para orang tua harus punya semangat untuk terus belajar tentang pendidikan anak.

Kecerdasan pada orang tua tersebut juga menyangkut potensi kecerdasan pada diri anak-anak. Sebenarnya, orang tualah yang paling tahu tentang perkembangan anak sejak lahir dan mulai tumbuh. Kalau orang tua memahami bahwa setiap anak itu memiliki kecerdasan masing-masing, maka semestinya tidak perlu dipaksakan terhadap sesuatu yang bukan menjadi kecerdasannya. Anak yang punya ketertarikan terhadap bahasa atau linguistik, tidak perlu terlalu ditekan untuk menguasai matematika secara mendalam. Kalau ada penekanan yang berlebihan atau malah pemaksaan, maka si anak akan menjadi stres.

Orang tua yang kesulitan menemukan kecerdasan pada diri anak-anaknya, bisa meminta bantuan psikolog. Bisa jadi dengan serangkaian tes psikologi, maka akan terlihat kecerdasan yang menonjol pada anak. Kemudian, orang tua perlu untuk memfasilitasi, mendukung dan memotori kecerdasan anak yang telah ditemukan tersebut. Selama masih berada dalam koridor yang positif atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebaikan yang ada, maka orang tua tetap perlu memberikan dukungannya.

Saling Mendukung

Setiap anak memiliki potensi dan kecerdasannya masing-masing. Bisa jadi, kedua hal tersebut muncul saat anak masih kecil, tetapi ada juga yang muncul setelah dewasa. Hal yang perlu ditekankan di sini adalah setiap kecerdasan itu saling mendukung. Tidak akan mungkin semua anak harus pintar Matematika. Tidak akan mungkin juga anak akan pandai berolah raga semua. Betapa indahnya jika suatu kecerdasan yang ada menjadi pelengkap kecerdasan yang lain. Dan, lebih khusus lagi, betapa indahnya dalam suatu kelas, masing-masing anak menunjukkan kecerdasannya. Seperti dalam novel “Laskar Pelangi”, sosok penulisnya mempunyai kecerdasan logika-matematika. Demikian juga dengan Lintang yang akhirnya malah kandas pendidikannya. Sementara Mahar mempunyai kecerdasan musikal. Anak itu pandai bernyanyi dan sangat terlihat bakat seninya.

Itulah hal positif yang bisa diambil dari novel hasil racikan Andrea Hirata. Memperlihatkan bahwa pendidikan yang benar itu mewadahi potensi dan kecerdasan anak. Seperti cahaya matahari yang akan bisa membakar kalau difokuskan ke sebuah titik menggunakan lup atau kaca pembesar. Keunikan setiap anak perlu untuk diapresiasi, didukung dan diberdayakan ke arah yang benar.

Artikel/opini ini pernah dimuat di Harian Kendari Pos, Selasa, 26 Mei 2015. 

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

3 Comments

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.