Setelah yang lalu ada disertasi tentang zina halal, sekarang muncul lagi saudaranya. Beda media, tapi isinya 11-12 alias bisa jadi mirip. Kali ini pakai media film. Kontroversi film The Santri. Seperti apa?
Banyak yang komentar negatif tentang cuplikan film The Santri. Pakai “The” bukan berarti dari luar negeri lho! Dari Indonesia, film itu dibuat. Mungkin maksudnya agar lebih terkenal di luar negeri sana. Sutradaranya saja pakai Livi Zheng. Yah, kalau terkenal baik sih kita jadi ikut bangga, tapi ini? Kontroversi film The Santri masih santer sampai saat ini.
Tauhid Itu Nomor Wahid Dalam Kontroversi Film The Santri
Heran juga saya ketika melihat trailer film The Santri. Kok bisa sih pemeran Wirda Mansur, anak dari ustadz Yusuf Mansur Paytren itu membawa tumpengan ke gereja? Sebenarnya maksudnya apa ya? Apakah sudah tidak ada masjid yang bisa diberikan tumpeng? Bukankah masih banyak jamaah masjid yang akan senang sekali kalau diberi tumpeng juga. Ya ‘kan? Apalagi pulangnya dapat tumpengan gratis pakai motor. Halah…
Ini jelas menanamkan paham pluralisme. Beda lho dengan pluralistis. Sekilas, film itu mengajarkan bahwa Islam harus toleransi dengan agama lain, misalnya Nasrani. Lho, yang bilang Islam tidak toleransi itu siapa? Dia sendiri tidak paham bahwa sudah sejak lama sekali, umat Islam sangat menghargai agama lain. Tidak mengusik keyakinannya, termasuk agamanya juga. Kalau umat Islam banyak yang radikal, maka akan banyak kaum Nasrani yang dihabisi. Nyatanya? Tidak!
Dalam pemberian tumpeng ke gereja ini, ada yang membantah. Bahwa katanya, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam dulu memberikan makanan juga ke orang kafir, bahkan disuapi. Hem, pertanyaannya, apakah pas diberi itu bersamaan dengan acara agama mereka? Setahu saya yang miskin ilmu ini, Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tidak pernah tuh mengajarkan masuk gereja sambil bawa makanan. Kalau ada haditsnya, hayo, tunjukkanlah!
Baca Juga: 5 Manfaat Membuat Catatan Kecil
Tauhid atau aqidah itu kunci pertama dalam Islam, he! Tidak akan mungkin seorang muslim akan masuk surga kalau tidak bertauhid dengan benar. Lawannya tauhid adalah syirik. Dosa syirik adalah dosa yang paling besar.
Seberapa banyak dosa seorang muslim, asal dia masih bertauhid kepada Allah, maka Insya Allah akan masuk surga juga, minimal dapat dua bidadari. Meskipun ya, maaf-maaf saja dulu, mampir dulu di neraka, Bos. Naudzubillah min dzalik. Neraka bukanlah tempat yang tepat untuk reunian dengan saudara-saudara jahiliyah dulu bro!
Jika kita seorang muslim yang benar, maka pastilah tidak akan pernah berpikir untuk masuk ke gereja. Buat apa? Tentu batin muslim tersebut akan langsung bertentangan dengan keyakinannya. Kalau semua agama disamakan, maka hari ini masuk Islam, besoknya masuk Kristen, lusa Katholik, pekan depan masuk Hindu, bulan depan Budha. Sama sekali tidak ada beda antaragama. Ini kah yang dimaksud dengan paham pluralisme itu? Lha kok yang mengajarkan paham itu, tidak seperti itu?
Memberikan sesuatu kepada orang Nasrani itu boleh-boleh saja. Bahkan termasuk perbuatan yang mulia. Tapi kalau memberikannya pas acara agama mereka, ini tujuannya apa? Mau latihan jadi Nasrani? Aduh, jika latihan akting di film itu masih jauh mendingan daripada latihan jadi orang kafir. Hem, agama ini jangan dimain-mainkan lah yauw!
So, janganlah ajari kami tentang toleransi, apalagi toleransi yang kebablasan. Kami sudah tahu teori sekaligus prakteknya. Namun, yang perlu ditekankan di sini adalah toleransi itu tetap mengacu pada Surah Al-Kafirun. Selain surah tersebut memang sering dibaca, apalagi di rakaat pertama, hehe, isinya juga benar-benar menunjukkan bahwa agamaku, agamaku dan agamamu, ya, agamamu. Tidak bisa dicampur aduk.
Hem, sebenarnya pantas saja sih ada adegan begitu. Karena sutradaranya saja bukan orang Islam. Jelas pemahaman akan tauhid sama sekali tidak ada! Termasuk dalam hal ini adalah organisasi Islam yang mendukung film ini, Nahdlatul Ulama, yang gencar menggelontorkan Islam Nusantara. Islam yang katanya sesuai dengan adat dan budaya Indonesia, anti Arab. Padahal, Islam awal mulanya tidak turun di Indonesia, lho!
Makanya, pantas setelah lulus pesantren di cuplikan film itu, diarahkan untuk belajar atau kerja ya di Amerika. Lha, kan sutradaranya memang sering ke negeri Paman Sam itu. Sekalian promosi, bahwa di sana juga bisa menjadi tempat untuk belajar Islam. Hem, Islam yang bagaimana dulu ini? Negeri Arab, Makkah dan Madinah masih jadi primadona untuk belajar Islam. Bukan yang lain, bahkan India, Pakistan dan Bangladesh sekalipun.
Kontroversi Film The Santri Selanjutnya: Pelanggaran Berdua
Biasanya sih, sebelum film diluncurkan, maka perlu ada trailer atau pengantar atau semacam sinopsis begitulah. Waktunya singkat, sekitar dua menitan, tapi harus berkesan. Bagaimana agar berkesan? Dalam waktu yang tidak lama itu, perlu dicari-cari adegan mana yang paling menarik? Pada bagian yang mana yang kira-kira bisa menarik perhatian calon penonton?
Jika di film horor, maka ditampilkan wujud setan-setanannya. Film romantis, adegan mesranya. Film komedi, adegan paling lucu, meskipun sering tidak lucu semuanya. Lalu bagaimana dengan film The Santri? Yang mana paling menonjolnya?
Salah satu adegan yang santer dibicarakan kalangan warganet adalah berduaannya antara si santri laki-laki dengan perempuan. Jika dalam aturan pesantren, maka ini termasuk pelanggaran berat! Ancaman hukumannya bisa dikeluarkan dari pesantren!
Tidak main-main memang dan sudah banyak yang mengalami. Pacaran sesama santri akan sangat mencoreng citra baik pesantren, bahkan Islam secara umum. Anak santri kok pacaran? Akhirnya, anak yang bukan santri pun jadi ikut-ikutan atau malah makin semangat pacaran.
Baca Juga: 5 Cara Mengatasi Cinta Bertepuk Sebelah Tangan
Hukuman bagi santri pacaran tentu bisa jadi berbeda dengan yang merokok. Kalau cuma merokok, maka yang kena bisa jadi dia sendiri. Tapi, jika sudah pacaran, maka santri perempuan juga bisa kena dampaknya. Padahal ‘kan kasihan mereka. Makanya itu, pesantren yang bagus jelas yang terpisah jauh sekali antara laki-laki dan perempuan.
Film ini menampilkan dengan gamblang adegan itu, meskipun lagi-lagi cuma trailer. Yang lucu, si santri laki-laki – ah, tidak penting amat sebutkan namanya di sini – memberikan buku plus tasbih kepada si Wirda. Cieh-cieh, pemberian model apaan itu? Kalau toh benar diberikan, nanti pas berdzikir pakai tasbih itu malah ingat di dia, bukan si Dia. Waduh, bagaimana mau dapat pahala kalau begitu caranya?
Melihat adegan pemberian buku itu, saya kok kasihan pada kudanya ya? Dia adalah hewan yang jinak, lucu, menggemaskan dan katanya enak dagingnya, tapi dipakai buat mengantar si santri cewek berduaan dengan santri cowok.
Kedipan mata Wirda, tampaknya membekas pada mata lawan mainnya itu. Adegan selanjutnya, laki-laki itu ditinggalkan kuda dengan penunggangnya. Cocok bukan mengambil subjudul ini: Dari mata, turun ke kaki kuda.
Judul yang Tepat Untuk Film Ini
Setiap film pastilah ada judulnya. Termasuk dalam film ini, pakai The Santri. Lalu, apa judulnya yang lebih tepat? Paling tidak, ini menurut saya lho! Orang lain bisa punya pendapat sendiri. Menulis sendiri juga boleh. Bebas saja kok!
Menurut saya, The Santri tidak tepat untuk film bombastis ini, meskipun baru pada tahap trailer, apalagi masih terus muncul kontroversi. Saya mengambil kata dari bahasa milenial sekarang, santuy, yang artinya santai. Makanya, cocok jika filmnya The Santuy! Mau tahu alasannya?
Dari awal tulisan ini, dikatakan bahwa si Wirda dengan temannya masuk ke gereja sambil bawa tumpeng. Nah, secara aqidah Islam, jelas itu sangat menyalahi. Tapi mereka santai-santai saja tuh! Bahkan senyum-senyum manis dengan pendetanya.
Seakan-akan itu bukan berdosa, tapi justru berpahala. Padahal itu mengambil contoh dari mana sih? Mana ada ulama yang masuk ke gereja terus mengucapkan salam perdamaian semacam itu?
The Santuy cocoknya untuk film ini karena pemerannya seakan-akan santai saja menjalani adegan-adegan kontroversial. Termasuk itu tadi, dua yang menjadi tiga. Satunya Wirda, santri putra yang sepertinya akan menjadi pacarnya dan kudanya itu sendiri! Santai sekali mereka melakukan adegan itu. Seperti tidak pernah ambil pusing dengan kontroversi film The Santri yang terus melintasi dunia medsos.
Merembet, Ikut Terseret
Kalau ada peribahasa, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya, maka itu pertanda bahwa seorang anak akan mewarisi sifat-sifat dari orang tuanya. Kecuali, di depan pohon itu, ada sungai, maka buah itu akan larut ke dalam air, mengalir sampai jauh. Orang yang seperti buah seperti ini, ketika ditanya, mau ke mana hidupmu? Maka, jawabannya adalah biarkan hidupku seperti air yang mengalir. Halah… Padahal air itu mengalir pastilah ada polanya, Bro!
Dalam masalah film ini, Wirda Mansur adalah anak dari Ust. Yusuf Mansur. Pada akhirnya, bapaknya akan kena juga. Kan jadi kasihan, apalagi ada videonya tentang pacaran, ternyata ditujukan untuk anaknya sendiri. Atau anaknya sendiri malah yang kena.
Ketika di linimasa, maka Ust. Yusuf Mansur, cuma bilang: Doakan saja. Ada warganet yang menanggapi, setelah didoakan, terus selanjutnya apa Ustadz? Tidak ada tindak lanjutnya? Semestinya setelah berdoa, harus ada usaha untuk memperbaiki. Iya ‘kan?
Kembali ke Laptop
Pada akhir trailer, juga ada petinggi NU yang menjadi executive producer, Said Agil Siradj. Berdiri berdua dengan mbak sutradara, Hollywood katanya. Mengucapkan Hollywood sepertinya ingin membuat bangga yang mendengar, ya, kita-kita ini. Santai juga mengungkapkan bahwa film The Santri menampilkan Islam yang santun, berakhlak mulia dan bla-bla lainnya. Jauh dari Islam radikal, ekstrimis apalagi teroris.
Padahal, justru film The Santri itulah yang radikal, ekstrimis dan teroris sekalian. Darimana melihatnya? Radikal dari cara santri membawa diri. Bawa makanan ke gereja, bukankah itu namanya radikal? Berduaan di hutan, jelas toh itu yang termasuk ekstrim?
Dan, pada akhirnya, kedua hal itu membuat teror lewat linimasa medsos kita. Justru ketika film ini makin dibicarakan, maka orang akan bersemangat untuk menonton. Sengaja memang dihembuskan yang seperti itu. Harus viral dulu!
Ketika berdiri berdua seperti itu, memang terlihat tidak pas bagi figur seorang haji, pakai kyai lagi. Padahal seorang kyai haji itu akan selalu menjadi contoh, bagi anak-anak muda yang haus belajar akan Islam. Bahkan hampir tidak ada jarak sama sekali. Ini jelas akan menjadi fitnah. Bukankah fitnah itu jauh lebih mengerikan daripada fitness?!
Film The Santuy, eh, kontroversi film The Santri entah sampai kapan? Selama masih berseliweran di internet, maka potensi calon penonton akan makin meningkat. Promosi gratis ketika makin dikomentari dan dishare. Sikap sebagai seorang muslim jelas tidak perlu menontonnya. Buat apa? Toh, nonton bioskop juga tiketnya mahal, apalagi ditambah dengan minuman dingin plus popcorn. Walah…
Bagi orang yang membela film ini, katanya tunggu nanti tanggal mainnya. Katanya sih akan diputar pas hari santri. Jangan hakimi film cuma dari sekilasnya! Tonton dulu semua, baru bisa disimpulkan, ini filmnya bagaimana? Bagus apa tidak? Kalau bagus, kenapa? Kalau tidak, juga kenapa?
Logika sederhananya adalah, cuplikan film menampilkan adegan-adegan paling menarik, ternyata memang seperti itu, maka akan seperti apa nanti film yang sebenarnya? Kecuali ada klarifikasi atau yang menjelaskan bahwa tindakan masuk gereja, berduaan di hutan atau orientasi belajar Islam di Amerika itu tidak benar, jelas lain persoalan. Bisa jadi, kita bisa mengambil hikmahnya.
Namun, kalau tidak? Jika tidak ada yang begitu, maka film itu akan mentah mengajarkan pluralisme dan hubungan bebas laki-laki dan perempuan. Apalagi notatoko, eh, maksudnya notabene, bahwa itu kalangan santri. Kalangan anak muda yang belajar di pesantren. Bagaimana jika ditiru? Mereka para pembuatnya itu sudah siap bertanggung jawab dunia dan akhirat? Hem…
Untuk menangkis paham-paham aneh dari suatu film, maka perlu dibuat film tandingannya. Kalau bisa sih. Namun, jika tidak, cukuplah pakai tulisan. Yang penting, kita sudah berbuat untuk membentengi negeri ini dari hal-hal yang aneh dan di luar ajaran Islam yang benar.
Pesona Pesantren
Pesantren adalah tempat yang mulia untuk membuat setiap orang di dalamnya mengenal Islam. Pesonanya Insya Allah akan terus ada sampai hari kiamat sebagai tempat belajar bagi seorang muslim. Apabila ada tindakan yang terlihat di luar Islam, maka jangan salahkan pesantrennya, tetapi santrinya, gurunya, sekaligus pengelolanya. Biasanya, itu cuma oknum.
Jika kita mau melihat pesantren yang sebenarnya, maka silakan masukkan anak-anak kita ke dalamnya. Namun, jangan asal pesantren agar tidak menyesal di kemudian hari. Biaya mungkin akan lebih tinggi dibandingkan anak belajar di sekolah umum.
Lebih baik kita pikirkan masa depan anak-anak. Ini masa depan bukan di dunia lho, tapi di akhirat. Jika harapannya adalah anak itu memberikan mahkota kemuliaan kepada kita orang tuanya karena dia sudah menjadi penghafal Al-Qur’an saat di pesantren, maka biaya sebesar apapun Insya Allah tidak akan menjadi masalah.
Wa’allohu alam bisshowab…