Membaca berbagai kasus kekerasan yang dilakukan oleh anak muda memang membuat miris dan membuat kita mengelus dada, asal dadanya sendiri lho, ya! Betapa tidak, dalam usia sebelia itu, mereka sudah berani melakukan tindakan kriminal yang notabene biasanya oleh pelaku yang lebih dewasa.
Mungkin kamu masih ingat ada beberapa kasus yang masih hangat sampai sekarang. Ada kasus perundungan di Tangsel, kasus pelajar tendang nenek, penganiayaan 5 ABG terhadap seorang remaja putri di Bogor tahun 2022, kasus anak mantan pegawai kementerian keuangan, dan lain sebagainya. Kita bisa bergidik ngeri bahwa kasus-kasus itu memang benar-benar terjadi. Ini nyata, bukan mimpi. Mereka pemuda, bukan lagi bayi. Pas bukan rimanya, a-a dan i-i?
Kalau dicermati tanpa harus lewat lomba cerdas cermat, sebenarnya apa sih faktor penyebab pemuda bisa jadi kriminal semacam itu? Ada yang berpendapat bahwa itu dari pola pendidikan orang tua. Misalnya, pemuda tersebut sejak kecil memiliki orang tua yang pemarah dan sering bertengkar. Suara ayah dan ibunya sering meninggi, walaupun tidak sampai naik meja tinggi, sih!
Biasanya, pertengkaran kedua orang tua dimulai dari hal-hal yang sepele. Contohnya, sang ayah mencari pulpen kantornya. Dicari ke berbagai tempat di rumah, sampai lantai ke-15, wuih ketahuan bohongnya, tetap tidak ada. Akhirnya, karena tidak ditemukan, dia bertanya ke istrinya. Dan, istrinya pun tidak tahu. Mulailah menyalahkan. Katanya, jangan pakai barangnya sembarangan, akibatnya bisa begitu, barangnya jadi lenyap.
Istri atau ibu anak tersebut tidak terima. Cekcok pun berlanjut, dari serangan kata, hingga bisa berujung kekerasan fisik. Mungkin ayahnya memukul ibunya, atau sang ibu melempar benda keras hingga mengenai kepala ayahnya. Si anak dari kecil sampai menjelang remaja melahap real stories semacam itu. Dalam benaknya, akhirnya jadilah pola kekerasan itu.
Demi melampiaskan hasrat akan kekerasan, dia mungkin mencari komunitas. Diajaklah ke geng atau kelompok semacam itu. Satu vibrasi, satu frekuensi. Sama-sama suka kekerasan, lebih klop, deh!
Dari berita yang ada, bisa terlihat dari aksi klithih di Jogja. Mereka menggunakan senjata tajam untuk menakuti warga Jogja lainnya. Sasarannya pun tidak jelas, pokoknya asal kena saja! Tidak ada target khusus. Ini sih namanya kebodohan juga, karena siapa lawan, siapa kawan? Beda jika tawuran antarsekolah, maka bisa tahu mana yang harus jadi sasaran, mana juga yang harus dilindungi? Badak bercula satu itu masih termasuk hewan yang dilindungi, lho! Sekadar info saja, sih!
Media sosial juga dianggap makin memperparah tindakan kekerasan pada anak muda zaman sekarang alias jaman now itu. Aneka berita kriminal di sana-sini seakan tidak pernah berkurang, karena justru berita satu menginspirasi yang lain. Makin menyantap berita-berita negatif, otak juga makin negatif. Tindakannya pun jadi negatif.
Media sosial disebut juga memelopori tren-tren aneh. Bahkan, kekerasan terhadap orang lain pun bisa termasuk tren. Makanya, demi rasa harga diri yang salah penempatan, para pemuda mencoba membuktikan. Mereka melakukan kekerasan, lalu divideokan, diunggah di media sosial. Tersebarlah ke seluruh penjuru dunia, penjuru bumi. Belum pernah dengar, sih, beritanya tersebar sampai ke Planet Jupiter.
Perilaku anak muda semacam kekerasan seperti itu memang harus dicegah dan ditanggulangi. Namun, caranya bagaimana? Ketika mereka dihukum dengan kurungan, justru di dalamnya mereka bisa belajar kejahatan lebih mengerikan lagi kepada para narapidana yang ada. Atau, bisa pula mereka jadi makin dendam. Ujung-ujungnya, ketika keluar, melakukan yang sama lagi atau malah lebih parah.
Nah, saya teringat dengan slogan yang dibawa pakar parenting, Ayah Edy, bunyinya, “Indonesia strong from home. Tahu artinya tidak? Coba buka kamus. Jangan malah kamus Bahasa Rusia, ya! Nanti ura terus malahan!” Ayah Edy mempunyai prinsip bahwa segala sesuatunya itu memang berasal dari keluarga. Setiap kita pasti berasal dari keluarga, bukan? Alhamdulillah, jika sampai saat ini kita memiliki keluarga yang masih lengkap dan tidak berkurang seorang pun.
Nah, untuk mencegah anak muda melakukan kekerasan, fokus utamanya adalah di pendidikan keluarga. Istilah kerennya sekarang adalah pendidikan parenting. Setiap orang tua hendaknya memiliki ilmu ini. Namun, sayang sekali, saya bertanya ke teman-teman saya yang sudah menjadi orang tua, mereka kurang concern dengan ilmu parenting ini. Cuek bebek. Mereka cenderung meneruskan saja pola asuh anak dari orang tuanya dahulu.
Nah, ini yang perlu diluruskan. Setiap zaman pastilah berbeda penanganannya. Apalagi sekarang, pendidikan parenting dihadapkan dengan dunia media sosial yang sangat luar biasa. Siapkah kita? Atau cenderung membiarkan saja anak muda kita bertindak semaunya hingga berpotensi melakukan kekerasan dan benar-benar melakukan kekerasan itu sendiri? Semoga tidak sampai begitu, ya!
Lalu, pertanyaan selanjutnya, bagaimana jika anak muda kita ada yang sudah melakukan kekerasan? Bahkan sampai ditahan polisi gara-gara kasus kekerasan, bagaimana sikap orang tua? Apakah anak tersebut langsung dihajar saja karena saking nakalnya?
Weis, kalau begitu, masalah justru akan menjadi makin runyam! Masalah akan menjadi makin ruwet. Anak muda yang terkena masalah itu akan jadi makin jauh dengan orang tua. Lha wong dia bisa berbuat begitu karena sebelumnya sudah jauh dari orang tua, kok! Sudah tidak mendapatkan kasih sayang dari keluarga juga. Kalau kebutuhan cinta terpenuhi, tangki cintanya selalu penuh dengan perhatian dan kasih sayang orang tua, rasa-rasanya tidak akan sampai berbuat begitu, deh!
Orang tua memang perlu evaluasi diri. Selama ini ke mana saja, halo? Apa mungkin terlalu sibuk dengan pekerjaan hingga lupa untuk mendidik anak? Ini sebenarnya lebih tepat tanggung jawabnya ke pihak ayah, sih. Selain sebagai pencari nafkah, sosok ayah juga menjadi pengayom dan pelindung keluarga. Sosok ayah juga sebagai pengisi tangki cinta bagi semua anggota keluarganya.
Anak muda melakukan kekerasan itu tidak serta-merta disalahkan si anak mudanya. Ada begitu banyak faktor, tidak termasuk faktor yang dipakai untuk membajak sawah itu, lho, ya!
Faktor utama yang bisa menjadi pemicu anak muda dekat dengan kekerasan adalah masa kecil yang serba dituruti. Saya pernah menonton video di internet bahwa anak-anak itu memang harus dibiasakan dengan rasa kecewa. Tidak semua keinginan anak harus dipenuhi. Jika anak-anak serba dituruti, maka akibatnya akan cukup buruk. Saya membaca di sebuah situs bernama siapnikah.org, anak yang sering dituruti, maka ketika keinginannya tertolak akan menjadi tantrum. Pernah lihat bukan ada anak yang meraung-raung, mengamuk, melempar benda-benda di sekitarnya, menjerit, berteriak, karena dia minta permen, tetapi orang tuanya tidak memberikan uang? Atau jangan-jangan kamu belum pernah melihat anak semacam itu, tetapi malah kamu sendiri yang dahulu melakukannya? Hadeh!
Ada seorang pembicara yang mengatakan bahwa jika anaknya sampai guling-guling di mal karena mau sesuatu, maka dipersilakan saja. Atau mau guling-guling sampai sepuluh mal? Boleh saja kata beliau. Kalau bukan guling-guling, melainkan bantal-bantal, bagaimana, Bos?
Nah, itu adalah contoh dari mengendalikan nafsu anak. Jika anak tantrum, lalu orang tua terus dan terus menuruti si anak, bayangkan ketika besar nanti. Bisa jadi dia akan mengatakan seperti ini, “Ma, aku minta motor! Kalau enggak, akan kubakar rumah ini!” Diancam begitu, orang tua mana yang tidak takut? Akhirnya, dengan berbagai cara, maunya anak dituruti, meskipun sangat berat. Dari situ, kekerasan anak sudah muncul. Berbicara dengan orang tua yang notabene harus dihormati saja, sudah nyaman dengan memakai nada keras dan kasar. Apalagi kepada orang lain yang lebih lemah lagi.
Sebelum hal itu terjadi, maka bisa kita cegah. Solusinya, pertama, berdoa selalu kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Berdoa agar Allah selalu menjaga anak-anak kita dari kekerasan, apa pun bentuknya yang negatif.
Kedua, senantiasa menampilkan sifat dan perilaku baik di rumah, di depan anak-anak. Saya teringat dengan seorang bapak di kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara ini. Beliau memiliki lima anak dan semuanya cinta Al-Qur’an. Anak pertamanya sudah hafal 30 juz. Anaknya yang bungsu sudah hafal beberapa juz, melebihi anak seusianya. Apa rahasianya kok bisa begitu? Ternyata, beliau memberikan tips ke saya. Ketika orang tua bertengkar, jangan sekali-kali dilakukan di depan anak-anak. Tahan dulu, cari waktu lain ketika tidak ada anak-anak atau hanya tinggal berdua. Jika bertengkar di depan buah hati, sudah pasti mereka akan menirunya. Merekamnya. Nanti suatu saat bisa muncul dalam bentuk yang lebih mengerikan.
Ketiga, perlu ditanamkan dua sisi dalam kehidupan. Katanya, sih, ibarat dua sisi mata uang. Ada sisi baik, ada pula sisi buruk. Pada diri anak muda diberikan pemikiran seputar kekerasan. Apa konsekuensi jika menghindarinya? Apa pula risiko jika melakukannya?
Jelas, jika tidak melakukan kekerasan, maka hidup akan lebih tenang. Hidup ini akan lebih bahagia. Bukankah itu yang selama ini dicari? Ya ‘kan?