Dalam kehidupan suami dan istri, apakah ada yang betul-betul terbebas dari rasa marah? Saya yakin tidak ada. Pasti ada salah satunya atau bahkan dua-duanya. Seperti yang terjadi berikut ini!
Suami, sebut saja namanya Rudi. Sedangkan istrinya bernama Wati. Rudi adalah seorang pekerja keras. Ketika sudah bekerja di siang harinya, pada malam hari, dia masih bekerja juga.
Hal itu dilakukan demi memenuhi nafkah dan kebutuhan anak istrinya. Sungguh suami yang mulia bukan? Lebih mulia mana daripada logam mulia?
Saking seringnya bekerja malam, dia tidur pun di larut malam. Tatkala jarum jam sudah menunjukkan pukul 00.00, dia mulai merebahkan diri.
Pada malam itu, dia mulai untuk tidur lagi. Tentunya, seperti kemarin-kemarin, tidurnya merem dong. Rudi belum pernah tidur dalam keadaan mata terbuka. Kalau baju terbuka, memang pernah. Begitu pula dengan istrinya, walah!
Jam setengah satu malam, Rudi mencoba untuk memejamkan mata. Dia menutup kelopak matanya dan bukan kelopak bunga. Lampu sudah dimatikan di ruang tengahnya. Toh, dia tidak perlu lapor ke kepala PLN agar mematikan lampu di rumahnya. Toh, dia punya saklar sendiri. Lho, bukankah dia menikah juga termasuk sakral? Apa hubungannya dengan saklar coba?
Namun, Ternyata
Rudi ada agenda di pagi harinya. Pokoknya ada pertemuan dengan beberapa orang tepat jam sembilan pagi. Agar cukup istirahat, maka dia sesegera mungkin tidur. Meskipun yah sudah jam satu malam tadi itu, tetapi masih mending daripada tidur jam dua. Atau malah semalam tidak tidur. Rudi tidak kuat seperti itu. Dia harus tetap tidur.
Sementara, sang istri, masih melek. Wati belum mau tidur. Kesukaannya memang memutar video dari HP untuk mengusir rasa sepi.
Ternyata, suara yang diputarnya itu nasyid. Tahu nasyid ‘kan? Bukan sejenis makanan lho ya! Oh, kalau itu nasyid goreng! Walah..
Rudi merasa amat sangat terganggu. Dia mengingatkan istrinya untuk dipelankan. Atau dimatikan sekalian. Wati tidak mengindahkan. Yah, karena Wati bukanlah Indah, makanya tidak mengindahkan.
Laki-laki yang belasan tahun bekerja sebagai karyawan itu merasa muntab, bukan muntaber. Merasa marah, dia bangkit dari kasur. Wati sedang berada di ruang tamu. HP Wati langsung direbut oleh Rudi, dan akhirnya dibantinglah!
“Pranggg!!!” Begitulah kira-kira suara bantingan HP. Mirip sih dengan bantingan piring, tetapi anggap saja begitu. Kalau mau tahu bunyi yang sebenarnya, silakan kamu banting HP sendiri ya!
Rudi merasa puas sudah membanting HP warna biru kehitaman itu. Dia menuju ke kasurnya lagi. Wati tidak terima dong. HP satu-satunya dibanting seperti itu, dia mengeluh, “Wah, pecah…!”
Dia tarik baju suaminya. Dicubit pinggangnya dengan rasa jengkel luar biasa. Rudi mulai panik, Wati mengajak berkelahi. Ditarik Wati ke kasur. Rudi dibuat terkunci. Dan, puncak dari perkelahian itu, Rudi ingin memukul wajah Wati, tetapi meleset.
Wati berdiri, tidak ingin meneruskan perkelahian lagi. Dia merasa kalah. Lalu, dia tumpahkan kekesalannya dengan bicara sendiri. Seperti itulah kebiasaan Wati kalau tidak ada temannya mengobrol.
Pergi Tanpa Pamit
Pagi harinya, Rudi terlambat bangun untuk sholat Subuh. Memang begitulah kebiasaannya, bangun agak siang, saat matahari sudah muncul sinarnya. Kalah dia dengan ayam jago tetangga. Tapi ‘kan ayam jago tidak sholat Subuh.
Wati masih kesal dan marah. Dia ambil kunci sepeda motor suaminya, lalu pergi begitu saja. Dia sudah tidak pamit seperti kebiasaannya. Buat apa pamit segala? Toh suaminya sudah sangat menjengkelkannya.
HP Wati tergeletak di meja. Rudi melihat akibat perbuatannya semalam. HP itu sama sekali tidak bisa dinyalakan. Pecah dan betul-betul pecah. Rudi merasa hati istrinya lebih pecah daripada itu.
Bertanggung Jawab
Sempat terpikir bahwa Rudi akan membiarkan saja istrinya tidak usah punya HP. Kalau punya HP, jangan-jangan nanti akan mengganggu tidurnya lagi.
Namun, pikiran lain berkata, jika tidak ada HP pada Wati, bagaimana nanti Rudi akan menghubungi istrinya? Begitu pula sebaliknya. Wati juga tidak bisa menghubungi orang tuanya seperti sehari-harinya.
Tetaplah, Rudi adalah seorang suami bagi Wati. Rudi harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dia membawa HP itu ke konter HP. Membawa ke konter yang pemiliknya sering eksis di Facebook.
Ketika sudah berada di sana, dia bertemu dengan guru anaknya. Seorang gadis yang mempesona dengan balutan gamis panjang dan tertutup rapat. Namun, warnanya tidak hitam, jadi lebih cerah.
Rudi dan anaknya duduk di depan meja resepsionis. Eh, tunggu, ini di hotel atau di konter sih? Maksudnya di meja pelayanan konsumen, begitulah. Rupanya, guru anaknya yang tadi pergi, eh, kembali lagi. Dia berada di dekat Rudi. Waow, tercium bau harum dari si guru itu. Rudi merasa bergetar hati. Guru tersebut masih muda, belum menikah, sedangkan Rudi sudah menikah dan punya anak. Hem, jadi bagaimana tuh, Rud?
Ah, Rudi menepis pikiran itu. Dia fokus kepada HP gurunya, eh, HP istrinya. Si pemilik konter yang melayani langsung mengatakan seperti ini,
“Ini ada dua pilihan, Pak. Kalau yang biasa, harganya lima ratus ribu. Yang bagus tujuh ratus lima puluh ribu.”
Waduh, ternyata mahal juga ya! Begitulah pikiran dalam diri Rudi yang hobinya menghemat uang. Lebih tepatnya sih pelit. Hanya gara-gara marah dan kelewatan membanting HP, kini dia harus menyiapkan uang sebanyak Rp750.000,00. Padahal, jika tidak sampai marah dan membanting HP, uang itu bisa dibelanjakan untuk yang lain.
Yah, namanya sudah terlanjur. Sudah kejadian seperti itu. Rudi tetap harus membayar harganya jika HP itu normal kembali atau layarnya tidak pecah lagi. Rudi dimintai DP sebesar seratus ribu rupiah dan dia menyanggupinya. Uang merah itu dikeluarkan dari dompet warna hitam.
Seperti Itulah
Harga marah Rudi bisa dinilai dengan uang sebesar Rp750.000,00. Itu dari segi uangnya saja. Dari segi lainnya, dia lebih rugi. Hati istri yang seharusnya dia jaga dengan sebaik-baiknya malah dihancurkan. Bukankah dia semestinya tahu bahwa perempuan itu seperti gelas-gelas kaca? Hati-hati sekali harus dijaga.
Perempuan itu juga seperti tulang rusuk. Aslinya memang bengkok. Kalau diluruskan, akan patah. Sedangkan jika dibiarkan, akan tetap bengkok.
Rudi merasa rugi besar karena di akhirat nanti dia kehilangan kesempatan untuk memilih bidadari di hadapan seluruh manusia. Itulah kenikmatan yang diberikan Allah kepada orang-orang yang bisa menahan amarahnya. Rudi berkali-kali gagal menahan marah, dan itu menjadi tanda berkali-kali dia gagal mendapatkan bidadari di hari kiamat nanti. Bagaimana Rudi? Apakah akan berubah nantinya? Entahlah, hanya Rudi yang bisa menjawabnya ini.