Musim liburan sudah selesai. Saatnya aku kembali ke tempat kerjaku. Menjalani rutinitas yang memang rutin kulakukan. Ada honornya sih, tapi aku berharap bisa juga beribadah di situ.
Pada liburan yang lalu, aku banyak menghabiskan waktu di rumah. Ya, memang mau ke mana lagi? Secara aku ini memang anak rumahan. Belum ada suami, jadi ya kumpul sama keluarga saja.
Menjaga Anak Adik
Aku dua bersaudara. Mempunyai adik satu, laki-laki. Dia sudah menikah. Mendahuluiku. Tidak apa-apa sih, namanya juga sudah jodoh. Aku? Hem, jodohnya ada di mana dan dengan siapa, aku sendiri masih belum tahu apa-apa. Masih gelap. Masih misteri. Yang bisa kulakukan adalah menunggu dengan sabar dan terus berdoa kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Kalau ada yang tanya atau bully, dicuekin saja. Kalau memang belum datang jodoh, mau diapain juga? Ya ‘kan?
Makanya, liburan kemarin, selama kurang lebih 20 harian, kuhabiskan dengan bermain dengan anak adikku. Berarti keponakanku. Bermain dengan anak laki-laki sungguh menggemaskan. Aku ini memang penyuka anak laki-laki. Tingkahnya yang lucu, membuatku selalu tergoda. Aku ingin nantinya punya anak laki-laki setelah menikah. Eh, kok mikir menikah lagi ya?
Kenapa aku mau menjaga anak itu? Ya, selain karena suka itu tadi, aku lihat kasihan juga. Ibunya terlalu sibuk dengan HP-nya. Akhirnya jadi tidak peduli begitu. Nah, aku pun turun tangan. Selain aku juga menganggur, bingung mau bikin apa, kerjanya baru nanti setelah libur, yo wis, aku menjaga anak lucu itu saja.
Sambil menikmati liburan, aku juga menyempatkan berkomunikasi dengan teman-temanku. Yah, bicara di grup tempat kerjaku, menanggapi atau memberikan sekadar kritik maupun saran. Aku ini memang dikenal lebih banyak bicara di grup itu. Yang lain, mah pasif-pasif saja. Apakah mereka pasif karena cuek atau karena bingung? Itulah yang membuatku bingung.
Menyanyi
Dulu, sebelum aku hijrah, aku ini suka sekali menyanyi. Tentunya, lebih suka lagi yang tanpa musik lho ya! Soalnya, sesuai dalil-dalil yang ada, musik itu memang haram, sih. Yang diharamkan itu alat-alat musik. Makanya, menyanyi tidak harus dengan musik ‘kan? Apa namanya itu? Apel pagi? Eh, kok apel pagi? Akapela maksudnya. Nah, itu dia!
Teman-temanku sesama muslimah, tidak banyak tahu tentang hobiku ini. Soalnya, di tempat kerjaku, memang tidak kutunjukkan bakat dan minatku ini. Gila apa? Nanti pasti jadi perbincangan yang panas kalau ada yang sampai suka menyanyi. Jadi, cukup di rumah saja. Menikmati suaraku ini yang masih kurasa merdu.
Ada satu yang tahu betul bahwa aku ini suka menyanyi. Dia seorang laki-laki, sering kuanggap sebagai kakak, tahu betul tentang sifat dan kepribadianku. Saat aku merasa sedih, galau, bahagia, dia juga tahu. Dia pun ada minat yang sama denganku. Ah, tidak perlu disebutkan di sini minat apa itu ya? Silakan kamu cari tahu sendiri, hehe..
Saat liburan itu, aku menghubunginya lagi. Menenggelamkan waktu dengan gelisik yang sering muncul di dalam hati. Waktu itu, aku memintanya untuk dinyanyikan apa? Asal lagu barat. Dia bilangnya malah lebih suka lagu Indonesia. Judulnya: Makhluk tuhan yang paling seksi. Hadeh, Wulan Jameela. Mana bisa kuikuti? Suaranya saja sangat khas.
Akhirnya, kusodorkan sebuah lagu barat. Dan, aku pun mulai menyanyi. Tidak direkam, karena aku menyanyi lewat media Whatsapp. Ya, di situlah media komunikasiku dengannya. Dulunya Telegram, tetapi sekarang sudah tidak download lagi. Malas!
Kucoba untuk menyajikan suara dengan semerdu mungkin, selembut mungkin. Aku berharap dia suka. Namun, waktu itu terasa jadi fals, entah kenapa. Suaraku tidak menemukan bentuk yang aslinya. Datar dan kurang masuk, begitu. Dia pun juga tertawa saja. Lewat suaranya? Oh, tidak, lewat emoticon di Whatsapp saja.
Ah, hari yang cukup indah bisa berkomunikasi lagi dengannya.
Dilanda Sakit
Ketika libur, ibaratnya ada hitam dan putih. Justru aku sakit yang lumayan parah. Sakit perutku, hingga tembus ke punggung. Apakah ini karena aku kurang makan? Tidak juga sih. Aku merasa makanku cukup, meskipun kamu nanti bilangnya porsinya kecil. Makanya itu, aku tidak pernah gemuk. Badanku begini-begini saja. Langsing. Aku bilang ke dia, bahwa kapan aku kurus? Tidak pernah memang.
Sakit itu mengganggu komunikasiku dengannya. Aku jadi jarang membuka HP. Bahkan susah duduk, pokoknya sakit badanku luar biasa. Eh, dia menghendaki untuk terus dibalas chatnya. Aku ‘kan jadi jengkel. Mengganggu saja sih.
Bahkan, dia mengancam pula dengan sebuah screenshot. Waktu itu, dia tanya, apakah aku cinta dia? Tapi ini diungkapkan dalam bahasa Inggris. Aku menjawabnya iya. Aku memang cinta dengan dia. Namun, sungguh aku tidak bisa mewujudkan cinta itu. Semoga kamu tahu apa alasanku, kenapa tidak bisa?
Screenshot itu dikirimkan ke aku. Hem, apakah itu ancaman? Apakah dia ingin menyebarkan komunikasi ini lagi? Aku jadi tambah sebal. Jadi tambah jengkel. Sudah sakitku ini sangat mengganggu, screenshot itu juga menjadi senjata yang menghujam hatiku.
Kukatakan padanya, aku memang jarang buka HP. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, aku minta dia menghapus seluruh chat. Di WA ini tidak seperti di Telegram. Aku bisa ikut menghapus yang ada di dashboardnya atau ruang chatnya, kalau pakai Telegram. WA tidak bisa seperti itu.
Puncaknya, aku jadi benci lagi dengannya. Keputusan pun kuambil. Aku memblokirnya lagi. Dulu pernah kublokir, sekarang begitu lagi. Kuikuti jejak teman muslimahku yang juga memblokirnya. Dia memang hobi sekali menghubungi yang bukan mahrom. Biarkan saja, toh antara aku dan dia tidak ada hubungan apa-apa. Dihalalkan, sekali lagi tidak akan mungkin. Tidak akan bisa.
Ketika kublokir itulah, aku jadi merasa bebas. Tidak terganggu lagi dengan chat-chatnya yang menyebalkan. Aku pun bisa lebih tenang ketika masuk kembali ke tempat kerjaku. Bertemu dengan teman-teman muslimahku. Bertemu juga dengan objek-objek dari tempat kerjaku.
Apakah dia tahu aku sudah kembali ke tempat kerja? Apakah dia tahu tentang sakitku lagi? Biarkan saja, biarkan saja dia penasaran. Biarlah dia dibayangi pikiran tentang aktivitasku dan keseharianku. Buat apa sih dia mau cari tahu? Kurang kerjaan saja. Ya ‘kan?
Yang jelas, kalaupun ada cinta di antara kami, maka cukuplah sampai di sini. Tidak perlu diteruskan. Tidak perlu dilanjutkan. Jodoh memang bisa datang sewaktu-waktu, namun aku berharap tidak dengannya.