Aduh, Kok Marahnya Sampai Segitu sih?

Aduh, Kok Marahnya Sampai Segitu sih?

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Cukup miris juga mendengar ada satu sekuriti yang menertibkan anak-anak SD dengan memarahi dan memukulnya. Bahkan yang dikatakannya pun sangatlah kasar menurut saya, “Awas nanti, kupotong telingamu!” Hiii…

Ceritanya, anak-anak tersebut disuruh untuk sholat Dzuhur berjamaah di masjid. Yah, namanya anak-anak, ada yang sudah baligh, ada juga yang tidak. Sebagian besar memang belum baligh. Wajar ‘kan mereka belum bisa tertib sekali! Berdirinya masih goyang-goyang. Kepala tolah sana-sini, bahkan mungkin sedikit ribut.

Tapi, si sekuriti ini menghukum dua anak dengan menyuruh mereka untuk rukuk selama beberapa menit. Setelah itu, dipukul lagi badannya saat masjid sudah sepi. Terakhir diumpat dengan perkataan seperti di awal tulisan ini. Hey, itu anaknya siapa woy?!

Mengandalkan Emosi

Saya mendengar kalimat kasar seperti itu, kok malah jadi ikut marah ya? Meskipun mereka berdua bukan anak saya, tapi kok saya merasa kasihan juga. Seberapa besar sih kesalahan mereka? Apakah pantas mendapatkan hukuman hingga cacian semacam itu? Bukankah untuk sholat dengan tertib dan khusyuk itu memang tidak mudah? Jangankan anak-anak, orang dewasa saja tidak gampang kok.

Lha, terus si sekuriti itu sudah benarkah sholatnya? Sudah khusyuk kah sholatnya? Sudah betul-betul sesuai sholat yang diajarkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam? Kalau belum, coba introspeksi dulu. Jika ternyata belum, berarti ya dia harus dihukum juga.

Mencapai Kesempurnaan

Jangankan suasana ramai atau ribut, dalam keadaan tenang saja susah khusyuk kok! Hayo, mengaku, siapa yang bisa khusyuk dari awal sampai akhir? Dari tahbiratul ihram sampai salam? Mungkin ada yang betul-betul bisa, tetapi yakin, sangat sedikit jumlahnya.

Untuk bisa berkonsentrasi penuh itu membutuhkan perjuangan. Membutuhkan mujahadah yang luar biasa. Dan, itu mungkin dapat tercapai selama bertahun-tahun. Ada juga yang tidak mampu tercapai sampai meninggal dunia. Yang bisa tercapai itu hanya beberapa saat. Beberapa detik saja. Khusyuk bisa, tetapi godaan mudah sekali muncul.

Anak-anak umur 10 tahun memang diharuskan untuk sholat. Jika tidak, maka akan dipukul oleh orang tuanya. Tentunya, pukulan yang tidak menyakitkan. Umur 10 tahun belum tentu sudah baligh. Nah, berarti jelas masih ada kekurangan dalam sholatnya. Masih ada kesalahan dalam sholatnya di sana-sini.

Lalu, mengapa harus menuntut anak-anak agar dapat sholat sempurna sekali? Terus, jika memang sholatnya tidak benar atau salah, apakah sekuriti itu yang akan kena akibatnya? Kan tidak toh. Kalau begitu, anak-anak jangan terlalu serius dipaksa agar sholatnya baik dan sempurna. Itu butuh proses yang panjang sekali lho.

Terpancing Emosi

Sungguh, menahan emosi alias marah itu susahnya luar biasa. Apalagi di tengah era sekarang atau jaman now yang penuh dengan informasi sampah yang membuat emosi. Berita-berita bohong, kriminal. dan semacamnya terus menghantam pikiran kita. Semakin lama, kita jadi merasa berita-berita itu jadi lezat dan tidak akan terlewat.

Ibaratnya kertas putih, semakin banyak kotorannya, maka warnanya pun akan berubah. Jika sudah begitu, maka kita jadi mengecapnya beda. Kertas putih jadi kertas hitam. Putihnya hilang, hitamnya yang terlihat.

Tiap hari, aneka kejadian bisa ditanggapi berbeda oleh kita. Jika sudah terbiasa dengan emosi, maka kejadian biasa pun tetap emosi juga. Pokoknya emosi dan emosi kerjaannya.

Kuncinya: Bersabar

Tidak bisa tidak, kunci untuk menahan emosi adalah dengan bersabar. Saya jadi ingat sebuah khutbah Jum’at dari seorang laki-laki yang istrinya pernah saya sukai dulu. Dia mengatakan bahwa kita itu perlu menjadi seperti termos. Panas di dalam, tetapi ketika disentuh dari luar tidak terasa panas. Jangan sebaliknya ya, ini pendapat saya, seperti termos juga. Jika emosi, tinggal dilempar saja!

Saya khawatir, jika anak-anak terbiasa dimarahi dengan cara begitu oleh si sekuriti, maka pikirannya akan mencerna. Pikiran sadarnya akan memproses hingga ke pikiran bawah sadar. Kalau anak-anak sampai ikut-ikutan kata-kata itu, siapa yang mau bertanggung jawab? Dia mau? Apakah dia betul-betul mau?

Emosi sih emosi, tetapi bukan lagi sewajarnya menumpahkannya seperti itu. Anak-anak ribut sedikit, langsung kena hukuman. Akhirnya, masjid jadi seperti tempat penyiksaan. Yang menyiksa pun seperti psikopat. Bisa jadi akan muncul trauma di pikiran mereka tentang masjid. Jangan sampai anggapannya tentang masjid jadi buruk karena pernah punya kenangan pahit dan kelam di situ.

Mestinya pula, yang dewasa lebih bisa menahan diri. Bukankah dia pernah jadi anak-anak? Bukankah anak-anak yang dimarahi itu belum pernah menjadi dewasa? Iya ‘kan? Lalu, kenapa hanya untuk mencapai kesempurnaan sholat dari anak-anak, harus ditebus dengan hukuman dan kata-kata yang amat kasar?

Sudilah dia untuk introspeksi. apalagi jika orang melihat dia sebagai sosok ikhwan. Tidak berjenggot lebat sih, tetapi bercelana puntung. Penampilan boleh sesuai sunnah, tetapi akhlaknya jauh dari sunnah, ‘kan bagaimana gitu lho?

Yah, tulisan ini sekadar curhatan pribadi saya tentang sebuah sekolah di Kabupaten Bombana ini. Sekolah Islam, tempat anak saya juga menuntut ilmu di situ. Saya juga sempat marah tadi, saya sampaikan ke beberapa guru yang ada, bahwa tidak seperti itu mendidik anak. Bahkan, saya juga mengatakan jika anak saya diperlakukan seperti itu, maka saya akan memilih untuk berduel saja!

Ternyata, saya sendiri pun jauh dari sifat mudah menahan amarah. Saya masih dikuasai emosi juga. Dan, mungkin pula, saya juga akan mengatakan yang kasar kepada anak-anak saya sendiri. Ah, berat memang menahan amarah. Makanya, ganjarannya sangat tinggi, yaitu: surga Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Mampukah aku, kamu, dan kita untuk mampu menahan amarah? Semoga Allah memudahkan.

Jika Dirasa Tulisan Ini Bermanfaat, Share Ya!

Silakan tinggalkan komentar

Email aktif kamu tidak akan ditampilkan. Tapi ini mesti diisi dengan benar.

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.