Menulis memang tidaklah gampang. Nyatanya tidak semua orang bisa menjadi penulis. Apalagi menyangkut motivasi untuk rajin menulis. Perlu belajar langsung dari ahlinya. Bagaimana jika belajar dari Ustadz Cahyadi Takariawan?
Mungkin di antara kamu ada yang pernah mendengar nama Ustadz Cahyadi Takariawan? Kalaupun belum, mungkin kamu bisa mendengar dari tulisan saya kali ini? Jika bisa, berarti hebat ya! Tulisan kok bisa didengarkan? Haha…
Hari Libur, Belajar Leher ke Atas

Saya memang tertarik dengan motivasi untuk rajin menulis, karena menulis memang bagian dari kegemaran saya. Meskipun yah, namanya juga manusia, motivasi semacam itu kadang tergantung kepada mood. Kadang merasa rajin, kadang pula tidak. Kadang malas, kadang juga tidak rajin. Lho, sama saja itu, mah!
Hari libur semacam ini, tentunya kebanyakan orang libur pada hari Ahad (28/03) ini ya. Apa yang kamu lakukan? Kata teman saya, hari Ahad atau Minggu adalah hari mencuci sedunia. Pendapat ini memang kurang tepat, karena di belahan Amerika sana, pastilah bukan hari Minggu. Selain itu, ada juga orang yang malas mencuci di hari ini. Mungkin karena cuciannya masih sedikit, atau sudah banyak, tetapi maunya hemat air.
Alhamdulillah, di hari Ahad ini, saya berkesempatan untuk mengikuti sebuah webinar yang dibawakan oleh Ustadz Cahyadi Takariawan, beberapa kali namanya saya tulis di atas. Beliau adalah penulis yang sudah malang-melintang di dunia kepenulisan. Yah, namanya juga penulis!
Saya coba mengulik Instagramnya. Ternyata, beliau adalah seorang konselor keluarga. Tepatnya konselor keluarga di Jogja Family Center. Wow, di Jogja ya! Saya juga kelahiran Jogja, Pak. Namun, saya belum menjadi konselor keluarga seperti beliau. Belum konselor, tetapi cukup sering makan telor.
Beliau juga menangani Founder Wonderful Family Institute dan Pegiat Angkringan Penulis Indonesia. Berarti, beliau ini memang fokus di dunia pendidikan keluarga dan penulis yang melatih orang untuk menulis. Ini memang bagus. Yang tidak bagus itu adalah pemalas yang melatih orang untuk jadi malas. Halah, siapa juga ini sih?
Nah, tentang investasi leher ke atas seperti dalam subjudul ini, saya mengikuti kelas pelatihan menulis online bersama beliau. Tepatnya KELAS WRITER BATCH 13. Waktu itu, investasinya memang seikhlasnya. Saya bergabung karena melihat iklannya di Facebook. Meskipun seikhlasnya, saya tidak perlu sebutkan berapa ya? Tidak sampai satu miliar kok. Apalagi satu triliun.
Baca Juga: Mendidik Versi Kurikulum Para Binatang
Tema atau topik yang diangkat adalah Motivasi untuk Terus Menulis. Mungkin ada di antara kamu yang sudah lama menulis dan selalu bisa menemukan motivasinya. Namun, ada juga yang belum menemukan motivasi untuk menulis. Jangankan motivasi untuk rajin menulis, motivasi untuk hidup saja kadang tidak ada. Walah, walah.
Sambil menonton lewat HP yang layarnya datar itu, saya mencatat poin-poin pentingnya. Saya tulis di buku tulis kecil yang saya lupa harganya. Mungkin kamu sendiri justru tahu harganya berapa?
Baik, kita mulai pembahasan yuk, kaitannya motivasi untuk rajin menulis dari Ustadz Cahyadi Takariawan ini. Bagaimana caranya agar bisa terus menulis?
Meremehkan Diri Sendiri

Sebelum membahas motivasi untuk rajin menulis atau terus menulis itu tadi, bisa jadi kita sering meremehkan pengetahuan sendiri. Merasa kita ini tidak bisa apa-apa dan tidak punya kemampuan apa-apa. Dari situ, kita jadi merasa minder saat mau menulis. Duh, apa yang mau ditulis ini ya? Perasaan tidak bisa apa-apa deh!
Padahal, penyakit semacam itu jelas menghalangi kita untuk menjadi penulis yang baik. Tulis saja yang ada. Contohnya adalah membuat makanan. Ustadz Cahyadi mencontohkan kue khas Sulawesi yang bernama barongko. Beliau pernah makan di Makassar.
Orang yang sudah tahu cara membuat barongko, bisa kok menuliskan tentang resepnya. Tentang cara pembuatannya. Mungkin, yang mau menulis begitu, halah, ini ‘kan semua orang sudah tahu cara membuat barongko? Eh, belum tentu juga lho! Tidak semua orang bisa membuat barongko. Coba tanya orang Afrika Selatan di pedalaman sana? Bisakah dia membuat barongko? Belum tentu bisa, ya ‘kan? Tapi kalau membuat sate cheetah mungkin mereka bisa.
Ketika kita yang sudah bisa membuat barongko, lalu menulis tentang itu, maka siapa tahu, ada orang yang membacanya, kemudian dipraktekkan. Buktinya, Ustadz Cahyadi Takariawan dan istrinya bisa membuatnya. Padahal bukan orang Makassar. Nyatanya, dengan tulisan yang dibacanya, beliau mampu juga.
Begitu juga dengan catatan perjalanan. Beliau mencontohkan perjalanan luar kota dari Jogja ke Purwodadi. Orang yang sering melaluinya, mungkin berpikir, untuk apa ditulis catatan perjalanan ini? Kan orang dapat melewati, dapat melaluinya mengandalkan GPS.
Ya, memang benar. GPS dapat dipakai untuk memandu perjalanan darat. Tapi, apakah GPS mampu mendeteksi tempat makan yang enak, masjid yang bersih dan bagus dipakai untuk sholat, serta penginapan yang murah, tetapi tidak mahal? Tidak bisa ‘kan? Nah, kalau GPS tidak bisa, berarti perlu ditulis oleh manusia. Oleh orang yang pernah melaluinya, melewatinya. Dari cerita perjalanan tersebut, orang jadi lebih memahami, tidak cuma sekadar perjalanan, tetapi juga hal-hal unik yang ditemuinya.
Menulis Mengandalkan Mood
Ada yang memang menunggu inspirasi, menanti mood, untuk mulai menulis. Jika dirasa belum ada mood, maka akan melalui harinya dengan rebahan saja. Melamun saja. Kita melihat kalimat inspiratif beberapa penulis berikut:
Saat ada orang bertanya, bagaimana kamu menulis? Saya melakukannya dengan menulis satu demi satu kata. (Stephen King).
Stephen King adalah salah seorang penulis cerita kriminal. Buku-bukunya sudah sangat banyak. Silakan cek sendiri di toko buku kalau tertarik dengan bukunya. Masih ada lagi kalimat inspiratif lainnya di bawah ini:
Anda tidak bisa menunggu inspirasi. Anda harus mengejarnya. (Jack London).
Siapa itu Jack London? Dia adalah seorang sastrawan asal Amerika Serikat. Menulis The Call of the Wild dan lebih dari 50 buku lainnya. Tercatat, Jack adalah salah satu orang Amerika Serikat pertama yang sukses secara komersial dari menulis. (Sumber: Wikipedia).
Menurut Ustadz Cahyadi, inspirasi menulis bisa datang dari mana saja, dan kapan saja. Bahkan bisa didapatkan dari mengkhayal dan rasa bosan. Ketika kita melakukan sesuatu, pikirkan sesuatu, apa yang bisa kita tulis?
Modal Membaca

Seorang penulis memang dituntut untuk rajin membaca. Apakah cuma membaca chat? Oh, itu bagian kecilnya saja. Janganlah sering membaca chat jika kamu tahu chat kita tidak pernah dibalasnya. Hohoho…
Membaca buku seperti yang dilakukan oleh Ustadz Cahyadi adalah mencermati betul-betul tulisan orang lain. Melihat judulnya, membaca paragrafnya. Bahkan dihitung dalam satu paragraf itu ada berapa kalimat? Terus satu kalimat itu adalah berapa kata? Seperti itulah membaca yang dilakukannya.
Baca, baca, baca. Baca semuanya dan lihat bagaimana mereka melakukannya. Sama seperti tukang kayu yang baru belajar. Baca! Kamu akan menyerapnya. Kemudian tulis. Jika bagus, kamu akan mengetahuinya. Jika tidak lempar saja ke luar jendela. (Willian Faulkner).
Tapi, kalau mempraktekkan ini, jangan sembarang main lempar ke luar jendela. Soalnya siapa tahu ada orang di luar. Kalau kita lempar dia, terus dia balik lempar bagaimana? Apalagi yang dilemparnya adalah burung kakatua yang hinggap di jendela. Hem, lagu jaman jadul.
Jangan Takut Salah!
Ada sebuah kalimat yang bagus, begini bunyinya:
Indahnya menulis adalah kamu tidak harus melakukannya dengan benar saat pertama kali, tidak seperti bedah otak misalnya. (Robert Cormier).
Saya cukup sering menemui orang-orang yang baru mau belajar menulis, tetapi langsung merasa minder, takut salah, takut dikritik, dan takut dihina.
Dari pernyataan Robert Cormier, menulis itu tidak seperti bedah otak. Kalau bedah otak, memang tidak boleh salah. Cara mengiris kulit di kepala pasien, cara mengambil penyakit di dalam otak, termasuk cara menjahitnya, semuanya tidak boleh salah sedikitpun. Sebab itu menyangkut nyawa manusia.
Bila menulis salah, tidak langsung mati kok. Tidaklah sefatal itu. Makanya, santai saja kalau menulis masih salah-salah ya! Tapi, jangan juga sampai salah hurufnya. Kita mau menulis A, yang ke luar malah Z. Mau menulis Q, jadinya malah V. Ini memang buta huruf sepertinya.
Kalau sudah punya tekad untuk menulis, maka tetaplah percaya diri. Setiap kita tidak akan pernah bisa menjadi orang lain sama persis. Kita tidak bisa menjadi Andrea Hirata, Habiburrahman el Shirazy, Asma Nadia, sampai dengan kakaknya, Helvy Tiara Rosa.
Percaya diri juga menyangkut dengan kepribadian dan kemampuan si penulis. Dua hal itulah yang tidak bisa dibajak oleh orang lain. Kalau membajak sawah sih bagus, tetapi kalau membajak buku bagaimana? Apalagi kalau membajak bukunya di sawah?!
Buku penulis di Indonesia ini bisa dibajak, tetapi karakter khas si penulis tidak akan bisa dibajak. Makanya, setiap penulis punya gaya tutur sendiri-sendiri. Kalau begitu, maka sudah saatnya Jadilah Be Yourself. Lho, itu ‘kan slogan websitemu, Mas? Iya, nih, sekalian promosi, hehe…
Baca Juga: 5 Cara Pinter Atasi Minder
Pembajakan buku seperti yang baru saja saya singgung, adalah resiko atau konsekuensi seorang penulis buku di negeri ini. Bagaimana menghadapi hal tersebut? Apa tidak usah menulis saja? Hem, tentang ini, ada sebuah kalimat motivasi:
Masalahnya adalah jika kamu tidak mengambil resiko, maka kamu akan mendapati resiko yang lebih besar lagi. (Erika Jong).
Resiko orang yang tidak menulis, ya, dia tidak akan punya karya. Dia tidak akan menghasilkan tulisan yang mungkin bisa bermanfaat bagi orang lain. Mungkin dia punya ide-ide yang luar biasa. Solusi yang komprehensif. Namun, jika tidak dituliskan, sama saja bohong, Bambang. Memangnya, orang lain bisa membaca pikiranmu?
Menulis itu memang berat. Dan, masalah menulis ini memang menyangkut stamina. Ada proses yang mungkin sangat panjang dan lama. Namun, di situlah seorang penulis atau orang yang ingin jadi penulis akan diuji. Sejauh mana dia sanggup bertahan?
Ini adalah masalah stamina, jadi jangan putus asa jika kamu menemui gang buntu dan harus memulai dari awal, atau jika kamu menerima surat penolakan lagi. Semua penulis sukses pernah menjalani itu, namun mereka terus menulis dan tidak menyerah hingga tercapai tujuan mereka. (Tim Maleeny).
Alasan atau Motivasi Menulis
Motivasi untuk rajin menulis mestilah melihat latar belakang seseorang itu menulis. Setiap orang pastilah digerakkan oleh suatu motivasi. Mau itu motivasi baik atau jelek, tetap namanya motivasi. Lalu, apa saja motivasi atau alasan orang itu menulis. Berikut penjabarannya menurut Ustadz Cahyadi Takariawan!
1. Tulisan adalah Kebaikan yang Abadi
Kita tahu, setiap hari diberikan waktu selama 24 jam. Mau dia pakai jam mahal, murah, atau murahan, tetap sama, 24 jam. Tidak ada orang yang kurang dari itu, atau malah lebih. Kalau uang, mungkin saja berbeda-beda.
Setiap hari, bagi kita yang muslim, diberikan kesempatan untuk beribadah. Ya, sholat, dzikir, membaca Al-Qur’an, sampai dengan puasa, terlebih sebentar lagi ‘kan bulan suci Ramadhan. Sudah siap belum?
Waktu yang ada selama 24 jam itu memang terbatas. Kita mau melakukan ibadah tidak akan mungkin sampai 24 jam full. Memangnya, kita tidak makan? Tidak minum? Tidak pacaran, maksudnya bagi yang sudah menikah lho, hehe.
Nah, karena terbatas, apalagi amalan yang ada sebagian besar untuk diri sendiri, maka kita perlu memikirkan amalan apa yang bisa diandalkan untuk menjadi jangka panjang, berupa kebaikan yang lama sekali, bahkan kalau perlu, selamanya? Salah satunya adalah lewat menulis ini.
Jika kita menulis yang baik, kemudian disebarkan ke banyak orang, siapa tahu di antara mereka, ada yang tergugah karena kita. Siapa tahu hidupnya berubah? Siapa tahu dia jadi makin sadar? Siapa tahu juga dia segera menikah, padahal awalnya sudah putus asa karena uang panaik yang kurang. Ya ‘kan? Bisa saja ‘kan?
2. Tulisan adalah Ibadah
Orang yang beriman, janganlah sampai melepaskan diri dari niat ibadah dalam segala kehidupan kita. Ibaratnya, ibadah ini adalah sambungan antara manusia dengan Allah. Kalau seseorang tidak pernah ibadah, maka sejatinya dia tidak akan nyambung dengan Tuhannya. Coba saja kamu bayangkan, punya teman yang diajak ngomong, tidak pernah nyambung. Stres juga menghadapinya ‘kan? Kalau manusia yang tidak pernah ibadah itu, dia pasti akan stres. Saking stresnya, banyak yang sampai bunuh diri. Ckckck…
Ketika kita menulis, niatnya untuk ibadah, maka Insya Allah setiap orang yang membacanya akan merasakan manfaat. Kita juga akan dapat pahalanya. Apalagi nyambung dengan poin pertama, sebagai bagian dari kebaikan yang abadi.
3. Tulisan adalah Sumbu Perubahan
Tahu sumbu kompor ‘kan? Itu biasanya jika kompor pakai minyak tanah. Begitu juga dengan petasan, ada sumbunya. Kalau memasak nasi goreng, ada juga sumbunya? Untuk ini, lebih pas bumbunya deh!
Tadi dibahas tentang keterbatasan waktu, sekarang menyangkut keterbatasan tempat. Seorang penceramah bisa juga berceramah kepada banyak orang yang sangat banyak. Audiensnya melimpah ruah. Tapi, dalam satu lapangan, paling berapa ribu orang sih? Tentunya ada keterbatasan ‘kan?
Baca Juga: Menulis Untuk Media Massa: Antara Kondisi Krisis dan Semangat Untuk Terus Eksis
Nah, bayangkan jika penceramah tersebut menulis, membuat buku, maka ceramahnya akan tersebar ke lebih banyak orang. Tidak cuma yang hadir di lapangan itu, tetapi sampai di luar provinsi, bahkan mungkin di luar negara kalau perlu. Untuk di luar planet, sepertinya akan susah, kecuali para astronot jauh di atas sana ikut membaca buku penceramah tersebut.
Melalui tulisan, energi perubahan bisa tersalurkan tanpa mengenal hambatan ruang dan waktu. Tahu Power Rangers ‘kan? Awalnya manusia biasa, tetapi ketika sudah mengucapkan, “Berubah”, maka dia akan lebih kuat. Begitu juga dengan kita. Apa? Jadi Power Rangers juga? Eh, maksudnya berubah untuk jadi pribadi yang lebih baik begitu.
4. Tulisan adalah Identitas
Seorang seniman pelukis bernama Affandi dapat dikenali orang dari hasil karyanya, yaitu: lukisan. Seorang Asma Nadia dikenal orang melalui buku-buku novelnya. Jadi, hasil karya seseorang akan mengantarkan ke orang lain untuk mengenal si pembuatnya. Penulis ya akan dikenal lewat hasil tulisannya.
Contoh gampangnya adalah Raden Ajeng Kartini. Sosok perempuan yang diperingati setiap 21 April itu mampu kita kenal sampai sekarang karena surat-suratnya hingga menjadi judul Habis Gelap, Terbitlah Terang. Karya tersebut menginspirasi banyak perempuan untuk memperjuangkan haknya. Dan, tentu saja juga mungkin menginspirasi PLN, apalagi jika sedang matu lampi, eh, mati lampu. Habis Padam, Nyalalah Lampu.
5. Menulis Itu Menyehatkan dan Membahagiakan
Motivasi untuk rajin menulis yang kelima adalah terbukti bahwa menulis itu memang berguna bagi tubuh, membuat sehat dan bahagia. Lha kok bisa? Rupanya karena inti dari menulis itu adalah berbagi. Kita bisa melepaskan hal-hal yang mengganjal atau mengendap, baik di pikiran maupun yang berbentuk emosi.
Coba buktikan saja, saat kita marah dengan orang lain, tuliskan saja. Tumpahkan semua yang ingin kita katakan ke dia. Sampai betul-betul puas kita meluapkan. Selanjutnya? Kirimkan ke dia? Ya, janganlah. Malah cari perang dunia itu.
Tulisan tersebut kita simpan. Tidak perlu simpan di kulkas lho ya. Pokoknya simpan saja di tempat yang tersembunyi. Endapkan selama beberapa hari. Begitu dibuka, eh, ternyata kasar sekali bahasa kita. Kalau dikatakan langsung ke dia, pasti dia akan tersinggung.
Efek sebelumnya, batin kita akan lega. Sebab, kita tumpahkan segala hal yang mengganjal dalam wujud amarah itu tadi. Coba kita lihat juga status-status di Facebook. Emak-emak yang tadinya tidak pernah menulis, bisa menghasilkan tulisan panjang saat ada masalah dengan suaminya. Eh, jadinya malah bongkar aib rumah tangganya sendiri ya? Hehe…
6. Tulisan Menciptakan Persahabatan dan Persaudaraan
Penulis yang sudah menghasilkan banyak karya, biasanya mendapatkan begitu banyak teman dan sahabat baru. Tidak hanya di daerahnya sendiri, tetapi juga di tempat lain. Antara penulis dengan orang lain tersebut sebelumnya tidak pernah mengenal. Namun, mereka jadi berkenalan gara-gara karya si penulis.
Terlebih sekarang sudah banyak grup Whatsapp. Sesama penulis bisa membentuk grup-grup semacam itu untuk saling memotivasi. Apalagi kalau bukan motivasi untuk rajin menulis. Ya toh?
7. Tulisan Mengajak Keliling Dunia
Kalau ini memang tidak semua penulis bisa dan pernah mengelilinginya. Ustadz Cahyadi Takariawan menceritakan pengalamannya diundang ke berbagai negara untuk mengisi acara-acara kepenulisan.
Orang-orang yang mengundang itu memang ingin mendengar langsung dari penulisnya. Makanya, dapat diadakan macam-macam forum, seperti: bedah buku, seminar, workshop, atau bentuk lainnya. Ustadz Cahyadi pernah diundang mahasiswa Indonesia di Mesir, kalau saya tidak salah dengar. Soalnya, saya menonton webinar ini pakai HP. Apalagi HP saya ini cuma saya ajak berkeliling dari rumah, kantor, masjid, warung makan, belum pernah saya ajak berkeliling dunia.
8. Tulisan Melahirkan Energi
Apakah untuk mendapatkan energi itu, kita mesti minum minuman berenergi? Hem, belum tentu juga sih. Soalnya minuman berenergi itu biasanya juga banyak gulanya. Apakah yang manis itu mendatangkan energi? Ya, benar, kalau kita punya istri yang manis wajahnya, maka kita akan berenergi untuk anu dengannya. Ini ngomong apa sih? Hahaha…
Menurut Ustadz Cahyadi atau yang akrab dipanggil Pak Cah, baru kali ini saya sebutkan sebutan lainnya, rata-rata penulis memang tidak pernah puas dengan kualitas tulisan mereka. Dari situ, membuat mereka terus belajar, membaca lagi, menulis lagi, berdiskusi sana-sini, mencermati di sana-sini, sampai mendapatkan sisi-sisi perbaikan dan peningkatan tulisan mereka.
Adanya tulisan membuat kita jadi terus terpacu untuk semakin berkarya dari waktu ke waktu. Ya, di sini adalah berkarya, bukan berkayu. Hem, hubungannya apa?
9. Tulisan Memberikan Pemasukan Ekonomi
Tidak bisa munafik, penulis adalah manusia juga. Butuh makan, minum, tempat tinggal, dan kebutuhan lainnya seperti manusia pada umumnya. Untuk itu, mereka butuh pemasukan. Butuh penghasilan. Caranya ya dengan menulis itu. Ada yang paruh waktu menulis, ada yang penuh waktu, ada pula yang tidak punya waktu untuk menulis. Yang terakhir ini tidak usah dipikirkan dulu.
Beberapa penulis tercatat memiliki penghasilan yang melimpah. Contohnya adalah Andrea Hirata yang kata Pak Cah mendapatkan keuntungan lebih dari 3,6 miliar rupiah dari karyanya, Laskar Pelangi. Apalagi Laskar Pelangi sudah banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa di dunia ini.
Begitu pula dengan Habiburrahman el Shirazy alias Kang Abik yang memperoleh 2,4 miliar rupiah dari novel Ayat-ayat Cinta. Penulis-penulis yang semacam itu tergolong makhluk langka. Tidak semua penulis mendapatkan penghasilan yang melimpah ruah semacam itu.
Kesimpulan
Jadi, sudah bisa menemukan motivasi untuk rajin menulis? Kiranya 9 motivasi di atas bisa betul-betul menjadi motivasi atau alasan kita untuk terus dan terus menulis. Meskipun pada dasarnya, motivasi itu bukanlah dari orang lain, melainkan dari mana? Yak, kamu sudah tahu jawabannya! Selamat!
Mantap artikel yang memotivasi untuk terus semangat dalam berkarya
Mantap juga komennya Bu.
Mantaap Mas, Ambu sedang di titik tak ada ide menulis krn fokus pikiran tersita ngurusin yg lain hehe..
Sibuk apa sih Ambu?
Luar biasa terimakasi Pak Brian pemaparannya. Saya nulis masih mengikuti mood. Tapi saya selalu berusaha menulis walau begitu.
Namaku bukan Pak Brian, Bu, hehe..
Master Rizki, trimks share ilmunya mantap. Betul sekali menulis itu banyak cara. Hanya kalau ibu menulis itu sebagai hobby dan obat stress. Kalau ada waktu baru menulis. Ttp kalau sibuk dg rutinis di sekolah/di rumah. Ya… hanya menyimak dan memberi komentar di blog peserta
Intinya, cari waktu yang pas saja untuk menulis, Bu. Insya Allah, ada kok.
terimakasih ats ilmu ya pak tp sy suka mash mentok utk buat kata2 diawal menulis
Wah, kalau ini, caranya gimana ya? Mungkin dengan banyak baca tulisan orang lain, Bu, hehe..
Terima kasih 9 motivasi menulisnya. Luar biasa.
Alhamdulillah..
Motivasi yang kuat adalah datang dari diri sendiri
Tentu dong Bu..
Maanttappp,,,harus banyak baca tulisan pak rizki
Ditunggu kunjungan berikutnya Bu..
Artikel yang lengkap dan memotivasi pembaca untuk menulis. Keren
Sip, makasih pak.